Bab 27. Mas Cakra Office

849 30 1
                                    

*Dhira*

Sebenarnya ini kali pertamaku datang ke kantornya Mas Cakra. Hari ini aku sengaja datang untuk membawakan bekal untuknya. Aku memang sedang menjanjikan Mas Cakra untuk datang di jam makan siang. Seperti saat ini, aku sudah ada di kantornya lima belas menit lebih awal. Menunggu Mas Cakra duduk di sofa koridor depan ruang kerjanya sambil mengamati beberapa orang yang sudah mulai lalu lalang meninggalkan ruang kerja masing-masing.

Tidak lama aku lihat Mas Cakra berjalan ke arahku sambil menenteng tablet di tangannya. Dua lengan kemejanya ditekuk sampai siku. Membuatnya terlihat sedikit berantakan.

"Loh kok nunggu di sini? Kenapa nggak langsung masuk aja?" tanya Mas Cakra dengan kening berkerut. Sementara aku hanya tersenyum canggung. "Bay, kok nggak disuruh masuk sih?"

"Mbak Dhira-nya yang mau nunggu di depan, Pak."

"Mas, udahlah. Iya aku mau nunggu di depan. Soalnya kalau di dalam nggak enak sendiri aku tuh, itu kan ruang pribadi kamu. Aku nggak harus kan masuk ke sana? Sendirian lagi," jawabku sambil meraih lengan Mas Cakra. Inisiatifku ini hanya dihadiahi tatapan jengkel dari Mas Cakra. Dia manis juga ya kalau marah.

"Ya nggak gitu dong, kamu boleh loh masuk kalau mau. Nggak ada yang namanya ruang pribadi. Ruang kerjaku itu ruang pribadi untuk bawahanku, bukan buat kamu." Mas Cakra masih mengomel sendiri.

"Ya udah aku minta maaf, gitu doang Mas ngambek ih."

"Iya, aku nggak mau lihat kamu kayak tadi, nunggu di depan sendirian. Udah kayak tamu aja." Mas Cakra menarikku masuk ke dalam ruangannya. Kemudian membimbingku duduk di kursi yang biasanya dia pakai untuk bekerja. "Kamu itu calon istri aku, bukan orang lain."

Tidak mau berdebat lebih parah lagi, akhirnya aku memilih untuk menaruh kotak makan di depan Mas Cakra. Tersenyum lebar sambil menunjukkan deretan gigi putihku. Mas Cakra dulu pernah bilang kalau dia mau saus cumi bumbu padang. Jadi aku bawa sekarang.

"Apa ini?" tanya-nya saat itu.

Aku membuka bekal makan pelan-pelan. Potongan cumi yang menggiurkan mulai memenuhi indra Mas Cakra. "Kesukaan kamu, cumi saus padang."

Mas Cakra bergegas mengambil sendok. Kemudian dengan gerakan cepat langsung menyambar potongan cumi di depannya.

"Thanks, sayang."

Aku kemudian menyunggingkan senyum lebar. "Sama-sama, Mas."

Mas Cakra masih sibuk mencicipi masakanku.

"Belajar masak dari mana? Kok enak gini?" tanya Mas Cakra. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai memasak. Akhir-akhir ini aku datang ke toko buku untuk membeli buku resep dari chef ternama. Ya jadi aku masak dari sana.

"Aku baca-baca, Mas."

"Udah sangat siap ya kamu jadi istri yang baik. Jadi hemat dong aku nanti nggak perlu ada Bibi yang bantu masak?"

Aku melirik ke arah Mas Cakra sambil menahan senyum. Nggak tahu maksudnya apa tapi aku cukup senang dengan pujiannya.

Itu artinya makananku lumayan enak di lidahnya.

"Ini beneran enak loh. Kok pas ya kamu belajar resepnya? Biasanya kan beda tangan beda rasa."

Kalimat itu tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di bibirku. Setidaknya Mas Cakra memang benar-benar menyukai masakanku. Bukan hanya di bibirnya. Padahal tante Devina pernah bilang kalau Mas Cakra tidak terlalu suka masakan rumah karena menurutnya tidak enak. Mas Cakra lebih suka makan di luar daripada di rumah.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya aku lihat bekal makan untuk Mas Cakra habis. Benar-benar bersih tak tersisa, hanya ada sisa saus yang menempel di kotak bekal makan.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang