Bab 13. Disaster

1.2K 44 4
                                    

*Cakra*

Sebagian besar orang akan menganggap kematian itu jauh sekali. Itu yang gue rasakan sebelum mendengar kabar bahwa Om Rian kecelakaan. Begitu sampai rumah sakit, gue beberapa kali melirik jam koridor rumah sakit. Sementara kaki gue nggak berhenti bergerak naik turun hanya sekedar menghilangkan rasa panik. Udah jam sebelas malam. Hanya gue yang ada di sana. Nyokap bokap minta gue datang lebih awal buat nemenin Om Rian yang sekarang masih di ruang ICU.

Saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Gue lihat dokter jaga yang tadi nangani Om Rian keluar. Sosok yang gue lihat keluar itu tertunduk lesu. Gue nggak tau artinya, tapi gue tahu kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Benar saja, dia bilang Om Rian nggak lagi bisa diselamatkan. Kondisinya sangat parah bahkan dokter bilang kalau sebelum sampai ke rumah sakit, Om Rian udah kehilangan nyawanya. Beliau mencoba beberapa cara untuk mengembalikan nyawa Om Rian. Sayang, itu hanyalah usaha sia-sia yang harusnya emang nggak perlu dilakukan.

Gue luruh saat itu juga. Seluruh tubuh gue lemas. Bahkan nggak berani sedikitpun melihat jasad Om Rian. Orang yang sangat gue percaya.

Sampai Bokap Nyokap datang gue hanya duduk di depan ruang tunggu sambil menangis. Mereka tahu kalau Om Rian udah nggak ada lagi. Nyokap cuman menepuk pundak gue lalu pergi. Mengurus ini itu untuk administrasi jenazah. Nggak tanya lagi gimana keadaan gue yang jelas udah hancur banget. Sesuatu yang mungkin nggak sesakit ini kalau terjadi sama Nyokap atau Bokap gue.

Dulu yang selalu kasih perhatian lebih ke gue cuman Om Rian. Cuman Om Rian yang ngajarin gue gimana cara antri ke gedung bioskop, ngantri beli makan di restoran, atau sekedar beli pulsa di minimarket. Hal yang nggak bisa nyokap bokap ajarin ke gue karena sangking sibuknya ngurus usaha keluarga. Gue nggak nyangka aja orang yang paling dekat malah ninggalin gue lebih awal dari yang gue duga. Malam itu malam terperih yang gue alami. Bahkan sampai bikin air mata gue kering.

Setelah Om Rian pergi, gue ambil waktu cuti. Nggak tau kenapa gue butuh banget cuti. Sebenernya gue bukan orang yang suka ambil hari cuti. Seluruh hidup gue isinya cuma kerja dan kerja, Nyokap Bokap yang ngajarin itu. Alasannya, hanya orang malas yang punya waktu istirahat. Gue paham lah itu, ini lebih ke tradisi keluarga yang memang dibentuk dari awal. Beda dengan Om Rian yang hidupnya lebih santai. Kalau ingat Om Rian, dia bahkan sering meluangkan waktunya untuk duduk-duduk santai di bar sambil menikmati weekend. Meskipun Om Rian cukup workaholic tapi dia nggak cukup kejam sama dirinya sendiri. Ada banyak hal diajarkan Om Rian yang nggak pernah Bokap Nyokap ajarkan ke gue.

Di tengah cuti, gue pergi ke rumah Om Rian. Rumah yang dibangunnya waktu menikah dulu. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri setelah ditinggal istrinya. Akhirnya mereka dipertemukan. Gue nggak tau sekarang harus senang atau nggak.

"Nih Cak, hidup itu harus dibuat santai. Kerja sih wajib ya tapi ya nggak kayak setan kayak gitu. Lihat tuh Mami kamu. Mana bisa dia senyum. Yang ada marah terus."

Itu yang saat itu diucapkan Om Rian. Padahal gue tahu betul kalau dia sering curi-curi jam kerja di restoran kalau kita lagi dinner. Kalau gue inget itu rasanya mau protes juga dan sekarang udah terlambat.

Om Rian juga orang yang menurut gue paling bijak. Dia nggak banyak nanya waktu gue ada hubungan lagi sama Ceyla. Jelas Om Rian ngerti hubungan gue sama Ceyla salah, dia coba nasehati sedikit-sedikit, nggak kayak Mami yang tiba-tiba datang ngelabrak Ceyla. Om Rian cuma menyarankan gue buat nikah sama cewek lain biar bisa ngelupain Ceyla. Meski gue enggan turutin permintaannya itu. 

Nggak sadar air mata gue jatuh. Kembali mengingat sosok Om Rian. Gue udah berusaha banget nahan diri buat nangis di depan Nyokap Bokap. Sekarang gue udah nggak tahan lagi. Gue benar-benar hancur. Selain Om Rian nggak ada yang beneran berani ngedukung gue. Siapa yang nanti bantu gue kalau lagi ada masalah? Mami Papi nggak bakal mau tahu kalau gue ada masalah. Mereka hanya fokus sama hidup masing-masing. Kadang gue kesal sendiri kenapa harus lahir di keluarga seperti ini.

Gue duduk di ranjang Om Rian. Menghapus air mata yang sedari tadi turun nggak berhenti-berhenti. Merogoh ponsel, mencoba menghubungi Ceyla meskipun nggak bisa dihubungi. Gue nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain Ceyla. Meskipun sia-sia nggak ada jawaban. Saat itulah air mata gue kembali luruh, gue butuh Ceyla. Beneran butuh dia.

Waktu itu nggak lama, gue lihat bayangan seseorang di balik pintu. Terlihat ragu untuk membuka. Gue nggak tau pasti itu siapa. Tapi gue berusaha bangkit, sambil menghapus air mata. Membuka pintu kamar Om Rian sampai sosok Mami muncul. Tatapan Mami sangat datar dan dingin begitu kita saling bertatapan.

Sudah sangat lama gue merindukan sosok ibu dari Mami. Rindu tangannya yang hangat waktu peluk gue. Melihat Mami di sisi gue bikin air mata ini kembali mengering. Rasanya, meski Mami sekarang ada di samping gue, kesepian itu masih ada di dalam jurang pemisah di antara kita. Tapi gue nggak bisa menahan diri lagi buat peluk Mami sekarang. Gue butuh dia.

****

~ Kamis, 19 January '23

Maaf banget chapter ini jadi dikit banget 😭🙏

See you next chapter😁

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang