Bab 3. Future

3.3K 113 51
                                    

*Cakra*

Gue terus menatap Om Rian yang dari tadi berada di ruang kerja gue. Nggak banyak yang dilakukannya selain jalan bolak balik kayak setrika panas. Bikin gue kesal setengah mati. Pasalnya benar-benar mengganggu konsentrasi gue. Yang lebih parah, nggak sekali gue lihat Om Rian kayak pengen bilang sesuatu. Yang entah kenapa dia urungin. Memilih bertingkah seperti itu di depan gue. Awalnya gue pengen pancing dia buat ngomong, tapi kayaknya itu bakal bikin kepala gue makin pusing.

"Om kalau ada masalah dari luar mending diselesaikan dulu," ucap gue akhirnya, menyerah.

"Gini Cak, Om mau bicara sama kamu. Ini penting."

Gue menghela napas panjang.

"Hubungan kamu sama Ceyla masih jalan nggak sih?" tanyanya langsung duduk tepat di depan gue. Gue pengen mengelak, tapi Om Rian adalah orang satu-satunya yang gue percaya dari sebagian besar keluarga gue.

Awalnya gue nggak punya alasan buat nanggepin. Berkelut sama kerjaan di depan gue yang sudah menumpuk kayaknya lebih bagus dibadingkan bahas soal Ceyla.

"Cak..."

Gue akhirnya nyerah. "Om tau dari mana?" tanya gue. Nggak pernah ada yang tahu soal hubungan gue sama Ceyla.

"Nggak salah lagi."

Gue menyandarkan badan di punggung kursi. Menyipitkan mata curiga.

"Om tahu meskipun kamu nggak pernah bilang, Cak. Dugaan Om benar. Ceyla kan jadi alasan kamu nolak semua perjodohan yang kita buat?"

Om Rian benar. Gue selalu menolak gadis-gadis yang selalu disodorkan Mami. Alasannya berbagai macam. Nggak selera, nggak cantik, nggak nyambung atau yang paling parah kemarin sih, gue bilang ke Mami kalau tuh cewek bolot abis. Kesel gue.

"Nggak ada yang cocok," gumam gue.

"Paling nggak lupakan Ceyla dulu," ujar Om Rian. "Coba kenalan sama cewek lain. Yang lebih muda, yang lebih cantik, yang lebih pinter. Jangan dipikirin itu perjodohan atau apa. Anggap aja itu kayak pertama kali kenal Ceyla."

Masalahnya gue nggak pernah tertarik sama cewek lain selain Ceyla. Cewek-cewek ini selalu terlihat berbeda dari Ceyla. "Aku juga masih cari jalan keluarnya, Om."

"Tetap punya hubungan sama Ceyla bukan jalan keluarnya."

Gue cuma bisa mengangguk setuju. "Ceyla cinta pertamaku Om. Nggak mudah ngelupain semuanya."

Yang gue lihat, Om Rian tersenyum. Responnya setelah itu hanya menepuk punggung gue sambil bergumam, "Berusaha lebih keras lagi, Boy. Keluarga kita masih butuh kamu buat nerusin silsilah keluarga."

Gue mengangguk. Emang iya. Om Rian sendiri sampai saat ini memilih buat nggak nikah lagi setelah ditinggal mati istrinya. Membuat janji bodoh yang nggak sengaja dia ucapkan, mengatakan kalau dia nggak akan nikah lagi. Mustahil rasanya Om Rian punya penerus setelah janji itu. Bahkan sampai sekarang Om Rian memilih menepati janjinya. Dia nggak pernah kedapatan jalan sama cewek lagi setelah itu.

Hanya keluarga gue yang berpotensi memberikan calon pewaris, itu gue dan ketiga adik gue. Kalian juga harus tahu kalau anak pertama selalu dikorbankan dalam banyak hal. Gue mulai terbiasa sama itu.

Gue akhirnya mengalah. Menuruti permintaan Om Rian. "Om maunya aku gimana? Aku udah nggak tau harus ngapain lagi buat menjaga nama baik keluarga."

Om Rian ikut menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Mendengus. "Berhenti memikirkan Ceyla."

Gue menyeringai. "Udah aku coba."

"Coba saja nggak bakal berhasil tanpa keinginan dan kemauan yang besar," jawab Om Rian.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang