Bab 47. Everything Changes

1.2K 43 10
                                    

*Cakra*

Gue bangun begitu merasakan kebas di tangan sebelah kiri. Tertekuk karena tidur menyamping terlalu lama.

Sambil mengernyit menahan sakit gue bangkit duduk. Bersandar di punggung sofa. Memperhatikan ranjang yang udah kelihatan rapi. Selimut yang biasanya masih berantakan di jam segini. Gue juga nggak lihat Dhira lagi. Bahkan nakas yang biasanya terdapat teh pappermint juga nggak ada. Dhira udah melupakan kebiasaannya.

Dengan langkah berat gue mengambil termos dan juga gelas. Menyeduh teh pappermint. Hanya ada satu buah di kotaknya. Awalnya gue ragu, takut Dhira nanti malah mau nyeduh juga. Tapi gue sepertinya lebih membutuhkan itu. Gue nggak peduli Dhira. Dia bisa beli sendiri nanti di minimarket.

Ada ruang hampa ketika Dhira nggak ada. Biasanya dia menasehati cara minum teh yang benar. Yang biasanya selalu bikin gue senyum setiap pagi, sekarang semuanya berubah.

Diam-diam gue mengamati sesuatu yang jujur bikin gue terkejut. Cincin pernikahan. Gue ingat betul cincin itu milik Dhira. Dia melepaskan ikatan kami. Secepat itu gue langsung mengambilnya. Mengamankan barang berharga itu. Dhira nggak boleh menghilangkan benda ini agar pernikahan kami tetap aman paling nggak di hadapan bokap nyokap.

Setelah minum teh gue keluar. Ceyla bilang dia nunggu gue di cafe biasanya. Masih pukul setengah enam pagi Ceyla malah ngajak main di cafe. Kalau Dhira, dia biasanya lebih suka ngajak gue ke pantai buat ngelihat sunshine. Apa mungkin sekarang dia ada di sana?

Sambil mengamati daerah pantai, gue berusaha menangkap wajah-wajah orang yang gue kenal. Hasilnya nihil. Tidak ada satupun yang gue kenal di sana.

"Hai babe," sapa Ceyla.

"Lama banget Beb, darimana aja?" tanya gue. Melepaskan rangkulan tangannya. Meminta Ceyla untuk duduk di sebelah gue.

Gue emang lagi nggak mau peluk-pelukan. Capek rasanya mikirin ini semua. Mikirin hubungan yang masalahnya nggak pernah selesai.

"Ih kenapa sih kelihatan bete banget?" tanya Ceyla terlihat khawatir. Tapi waktu ingin gue respon dia malah hanya tertarik sama buku menu di depannya. Seolah-olah yang dia tanyakan tadi hanya angin lalu yang tidak penting.

Maka gue pun hanya diam. Sesekali mengangguk waktu Ceyla menawarkan menu buat gue. Toh dia juga pasti lebih tahu apa yang gue suka dan nggak gue suka.

Damn! Yang ada di kepala gue malah Dhira. Bukannya Ceyla.

****

Pemandangan yang seharusnya nggak pernah gue lihat. Begitu menoleh asal ke arah pantai mendapati sesosok perempuan yang sudah gue nikahi duduk di kursi malas mengenakan bikini dan juga kain tipis menutupi pinggulnya. Berjemur bersama gerombolan turis yang ada di sana.

Aku tidak pernah melihat Dhira mengenakan pakaian seberani itu. Menunjukkan seluruh tubuhnya di depan umum bahkan nggak pernah terpikirkan sebelumnya. Gue yakin Dhira nggak kayak cewek kecentilan lain. Dia lebih berkelas dan istimewa. Melihat itu bikin sesuatu di dada gue berontak ingin menegur Dhira. Sayang, waktu gue hendak melenggang. Tak jauh dari tempat Dhira, gue lihat Bayu jalan ke tempat Dhira sambil tersenyum.

Gue sontak menghentikan langkah. Hanya memperhatikan Bayu dari tempat gue berdiri, mengulurkan kelapa muda ke arah Dhira. Yang langsung disambut senyum manis oleh Dhira.

Sementara gue hanya mendengus tidak percaya. Emang apa yang gue harapkan?

Gue berusaha melupakan apa yang gue lihat hari ini. Mencoba memejamkan mata. Nggak berhasil. Yang ada banyak pertanyaan muncul, kenapa Dhira jalan sama Bayu? Apa yang mereka lakukan? Udah sejauh mana hubungan mereka? Sampai gue nggak pernah tahu sebelumnya. Apa yang mereka sembunyikan? Apa ini rencana mereka untuk balas dendam?

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang