Bab 25. Clear Up

713 26 2
                                    

*Dhira*

Setelah peresmian hubunganku dengan Mas Cakra menjadi perbincangan anak-anak kampus, khususnya anak teater, hubunganku dengan Drew mulai merenggang. Aku tidak lagi mendengar tentangnya. Apalagi soal kuliah Drew yang katanya mulai amburadul. Sementara di organisasi dia mengundurkan diri dari tim teater dan membuat geger semua. Seperti sekarang, padahal tim teater sangat butuh orang seperti Drew. Meskipun alasannya mengundurkan diri karena sibuk dengan pekerjaan. Aku tahu itu bukan soal sebenarnya, tetapi itu karena Drew memang mau menghindariku.

"Drew nggak bisa ya berhenti setelah semuanya beres?!!!" Tara nyaris berteriak karena semua program yang dijalankan Drew untuk organisasi belum selesai. "Kalau kayak gini berantakan semua kan," omelnya lagi.

Perkataan Tara membuatku merasa bersalah. Aku masih berusaha menghubungi Drew untuk bertanya soal konsep yang dia kerjakan. Hanya saja tidak ada jawaban. Menghubunginya rasanya percuma. "Yan, pinjam hape dong."

"Buat apa Dhi?" tanya Rian yang saat itu sibuk mengedit vidio untuk konten youtube. Melanjutkan pekerjaan Drew yang tertunda. "Jangan lama-lama ya habis ini gue pake."

"Bentaran doang kok. Buat telpon orang." Aku buru-buru meninggalkan tempat Rian setelah mendapatkan persetujuan.

Aku duduk di depan ruang sekretariat. Memencet nama Drew lalu menghubunginya via WhatsApp.

"Apa sih njing, gue lagi tidur. Capek gue. Nanti deh gue ke sana kalau nggak lagi males." Nada dering mulai tersambung diikuti oleh cerocosan suara Drew.

Aku hanya bisa senyum. Nada bicara Drew masih seperti biasa.

"Ini gue, Drew."

"Siapa?" tanya Drew gelagapan. Aku tahu Drew mulai menyadari siapa yang menelponnya saat ini.

Aku berusaha tersenyum selebar mungkin "Ini gue, Dhira. Siapa lagi coba." Berusaha untuk terlihat baik-baik saja ternyata lebih sulit dari yang aku duga.

"Oh, Dhi. Gue pikir Rian. Hai... Apa kabar?"

Basa basi banget ya Drew? Bisa tidak sih kamu lebih santai sedikit? Aku di sini bukan untuk ditanya bagaimana kabarku, tapi semua ini tentang kamu.

"Hari ini bisa nggak keluar, Drew?" Aku memberanikan diri untuk mengajaknya lebih dulu, aku tahu Drew akan menghindarinya setiap kali ada kesempatan.

"Ada kerja gue, Dhi. Nggak bisa lah."

Tuh kan benar. Sekarang aja dia mencoba untuk menghindar. Kalau biasanya Drew akan berpikir panjang terlebih dahulu sebelum menolak ajakanku. Sekarang, seperti tanpa berpikir memilih untuk menolakku terang-terangan.

"Sebelum lo kerja aja, Drew. Ini penting banget."

"Sepenting apa sih gue? Nggak lah... Gue beneran harus kerja. Biar punya uang banyak. Terus nggak diremehin lagi. Capek gue ama hidup ini. Kerjaannya kalah mulu. Karna gue terlahir di keluarga miskin kali ye?" balas Drew disertai tawa renyah. Ada kegetiran di suaranya. "Nanti aja deh kalau gue beneran bisa."

Gue memilih diam. Memang sebaiknya seperti itu. Aku tidak bisa memaksakan hubungan yang sudah rusak bukan?

"Uang lo ada di gue, Drew." Aku ingat Drew menitipkan uangnya. "Gue cuman mau balikin itu doang. Terus ngobrol sama lo kek biasanya." Perkataan yang aku ungkapkan itu benar-benar memperburuk keadaan. Suara isakan terdengar. Aku tidak yakin itu suara tangis atau hanya ingus Drew. Semua itu mungkin mengingat apa yang Drew rasakan lebih buruk dari semua itu. "Maafin gue, Drew."

"Gue capek, Dhi. Udahan ya?" sahut Drew selang beberapa detik.

Nada terputus kemudian terdengar. Aku menghela napas panjang. Ada sesuatu yang masih mengusikku tentang Drew. Namun tidak bisa aku ungkapkan. Drew lebih dulu menutup telepon dan aku hanya bisa diam saja. Membiarkannya melakukan apa yang dia mau.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang