Bab 21. Dilemma

928 41 2
                                    

*Dhira*

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang begitu membuka pintu rumah. Antara bertanya sekaligus kaget saja kenapa tiba-tiba Pak Cakra ada di depan pintu rumahku. Bertamu sepagi ini. Dia tersenyum sekaligus memaksa masuk ke dalam rumah.

Hanya berusaha bersikap sopan, aku membiarkan Pak Cakra masuk. Duduk di ruang tamu tanpa diminta.

"Sendirian di rumah?" tanyanya sambil mendongak melihat beberapa furniture. Pandangannya terpaku pada beberapa lukisan yang memang terpajang di sana. Dejavu

Aku kemudian mengangguk. Ayah baru saja keluar berangkat kerja. Sementara aku, hari ini memang tidak ada jadwal kuliah pagi. Hanya ada jadwal sore. Tapi aku sudah ada janji sama Drew untuk jalan setelah ini. Makanya aku sudah serapi ini.

Pak Cakra senyum-senyum saat melihatku. Ada sedikit kecanggungan yang aku rasakan ketika dilihat seperti itu. Tatapannya begitu tajam membuatku salah tingkah sendiri.

"Kok udah rapi, memangnya sudah tau kalau aku bakalan datang?" tanya Pak Cakra sangat percaya diri.

"Itu Mas, mau jalan. Nunggu Drew datang," jawabku saat itu.

Pak Cakra berdecak tidak suka. Sangat jelas terlihat dari raut wajahnya yang berubah menjadi masam. Ditambah lagi kerutan di dahi-nya sekarang nampak jelas terlihat. Seolah menahan emosi.

"Mau kemana sih kamu sama Drew?" tanya Pak Cakra. Jujur saja perkataan Pak Cakra ini seolah membatasiku untuk berhubungan sama Drew. Rasanya aneh saja. Kita tidak memiliki hubungan apapun.

Aku berusaha tidak menunjukkan kebingunganku di depan Pak Cakra karena sikapnya.

"Mau minum apa, Mas?"

"Jangan terlalu sering main sama Drew. Dia pasti ada maunya sama kamu, Dhi."

"Saya sudah kenal Drew sejak lama, Mas."

Mata Pak Cakra menyipit. "Sebagian besar kasus kejahatan terjadi karena korbannya lengah dan mengganggap pelaku adalah orang yang sangat dia percayai."

Aku tidak tahu harus merespon apa selain mengiyakan. Memang benar, tapi aku sendiri yakin Drew tidak akan melakukan hal-hal di luar nalar. Kalau Drew mau melakukannya, kenapa tidak dari dulu kan melakukannya?

Bagaimanapun Drew memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk sesuatu yang kata Pak Cakra disebut 'pasti ada maunya'.

"Mas mau minum apa?"

"Aku nggak mau lama-lama toh kamu juga mau keluar kan?" ujarnya dengan wajah datar.

"Iya," jawabku jadi serba salah.

"Nanti malam aku jemput ya?"

Aku agak terkejut dengan perkataan Pak Cakra. Nanti malam apa? Orang kita tidak ada janji. Tiba-tiba saja mau jemput. Aku jadi bertanya-tanya sendiri. Meskipun sama sekali tidak berusaha bertanya untuk meluruskan.

Spontan aku hanya mengangguk. Nge-blank sebenarnya, apalagi dengan tatapan Pak Cakra yang mengintimidasi seperti itu. Rasanya aku hanya bisa mengiyakan perkataannya.

"Aku jemput dimana nanti?"

"Jam berapa, Mas?"

"Kita dinner, Dhi. Sekitar setengah enam sudah aku jemput ya?"

"Kita makan malam dimana?"

"AMUZ Gourmet Restaurant."

"Amuz em what?" Aku yang cukup terkejut hanya bertanya bodoh seperti itu.

"Nanti aku jemput ya?"

"Mas?"

"Kamu juga jangan khawatir soal dress. Nanti ada yang kirim dress sore nanti. Kamu bisa fitting buat cari ukuran juga."

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang