Bab 6. Criteria

1.9K 83 4
                                    

*Cakra*

Muka gue jelas nggak bisa sembunyikan rasa dongkol sejak sejam yang lalu. Terjebak di party bersama anggota keluarga gue jelas bukan hal yang baik. Gue udah dandan rapi banget, kelewat ganteng malah, meskipun sekarang aura kegantengan gue udah mulai luntur gara-gara pembahasan yang nggak penting sama sekali. Pembahasan kapan gue nikah jadi topik of the day.

"Keterlaluan ya lo, tiap kali ada acara keluarga nggak pernah excited..."

Gue menoleh ke sumber suara. Siapa yang nggak kenal suara itu. Adik gue, beda dua tahun. Namanya Elisa. Gue termasuk orang yang nggak sembunyikan apapun dari dia. "Gue nggak harus excited buat lama-lama di tempat ini."

Malam ini ada party kecil yang setiap tahun diadakan. Ulang tahun perusahaan. Perayaan kecil dan cukup private. Hanya mengundang para staff dan anggota keluarga. Udah jadi kewajiban juga keluarga besar Hardiyanta datang. Karna gue masih masuk di silsilah mereka, otomatis gue datang. Acaranya hanya makan-makan, minum wine atau cocktail, terus ngobrol tanpa arah. Nggak ada yang penting sebenernya.

Acaranya juga nggak terlalu formal, karena hanya mengundang para staff. Nggak ada kolega yang datang. Bahkan beberapa staff kelihatan pakai baju santai. Mereka bilang, kapan lagi bisa makan enak. Jadi mereka datang. Gue juga nggak pernah protes sama konsep acara ini. Suka-suka nyokap bokap lah.

"Nggak mau coba karaoke?" sindir Elis. Dia harusnya tahu kalau gue super bete.

Elis beda. Setiap kali ada acara party, dia selalu datang. Mengenalkan cowoknya ke nyokap bokap jadi tradisi kecil sendiri. Gue nggak tau kapan dia putus, tiba-tiba bawa yang lain. Kayaknya juga asal dapat. Cowok-cowok udah kayak koleksinya. Harusnya mereka hati-hati bukannya malah terjebak dalam jeratan Elis.

Malam ini Elis mengenalkan cowoknya seperti biasa. Lumayan tampan, tinggi dan putih, tentu saja kriterianya. Cowok itu kelihatan excited pas ketemu keluarga gue tadi. Tapi gue nggak lihat lagi dimana dia sekarang.

Gue menyandarkan punggung di pagar pembatas taman kecil. Sedikit melirik ke arah Elis yang sedari tadi nggak pernah menyembunyikan senyumnya. Dia kelihatan cantik banget pas pakai dress merah berpotongan panjang di paha sebelah kirinya. Penampilannya nyaris sempurna.

"Tumben cantik banget," puji gue.

Elis semakin melebarkan senyumnya. Pipinya kelihatan makin merona. "Ya iyalah, gue emang cantik tau." Dia ikut menyandarkan punggungnya di sebelah gue. Bikin pagar kecil itu berdecit.

"Mana cowok lo? Kok nggak keliatan lagi?" tanya gue penasaran. Sambil curi-curi pandang ke arah kerumunan. "Yang ini serius nggak? Kalau nggak harusnya nggak usah dikenalin."

"Kasian ngeliat lo murung terus dari tadi. Ya terpaksa lah gue ke sini," jawab Elis nyindir gue telak. Dia kemudian tertawa sambil menutup bibirnya pakai kedua tangan. "Muka lo keliatan banget, Cak."

Gue sontak melirik dia. Emangnya muka gue separah itu? Tapi gue hanya bergeming kemudian. Malas mendebat. "Bentar lagi, palingan gue pulang."

"Lo keliatan bete banget."

Jelas lah. Gue nggak suka party membosankan kayak gini. Pembahasan unfaedah plus bikin muak.

"Lo tau nggak Cak?" tanya Elis. Gue melirik sekilas, bukan penasaran malah sebaliknya. "Mami kayaknya tau deh lo lagi deket sama cewek."

Degh.. jantung gue nyaris lompat begitu perkataan itu muncul dari mulut Elis. Jadi selama ini nyokap nyelidikin gue. Hubungan gue sama cewek cuma sama Ceyla. Nyokap nggak mungkin tahu kan hubungan gue sama Ceyla? Karna kalau nyokap tahu harusnya dia langsung negur gue. Bukan malah diem-diem.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang