*Dhira*
"Jadi, maksud kedatangan saya ke sini agar diberi izin melamar Dhira untuk menjadi istri saya," kata Mas Cakra. Membuat Ayah setengah terkejut dengan lamaran waktu itu. Pasalnya aku memang tidak pernah menceritakan tentang Mas Cakra kepada Ayah. "Saya harap Bapak menerima rencana lamaran saya."
Seenggaknya kalimat itu yang terus terukir di kepalaku. Mengingatkan pada perkataan Mas Cakra semalam ketika berhadapan dengan Ayah. Sesuatu yang tidak aku duga sama sekali. Aku pikir Mas Cakra tidak seberani itu. Sayangnya aku salah, bahkan setiap kali aku memberanikan diri menatap Mas Cakra, ada keseriusan di wajahnya. Membuatku semakin yakin kalau Mas Cakra tidak pernah main-main dengan perkataannya.
Semalam aku benar-benar tidak tidur hanya karena memikirkan ini.
"Loh Ayah belum berangkat?"
Sedetik aku terpaku begitu melihat Ayah duduk di mini bar berbentuk L yang terhubung dengan dapur. Sementara Bibi seperti biasa terlihat sibuk di sisi bagian lain dapur untuk menyiapkan sarapan.
"Udah bangun?" tanya Ayah saat itu.
Aku mengambil kursi di sebelah Ayah. Saat itu Ayah terlihat sedang sibuk dengan laptop di depannya. Sebenarnya Ayah masih belum memberikan jawaban untuk lamaranku. Mas Cakra juga bilang kalau dia tidak akan memaksa Ayah untuk menjawab cepat. Hanya saja aku merasa kenapa Ayah menjadi lebih tenang. Seolah tidak ada sesuatu yang memberatkannya. Berbeda denganku saat ini yang malah terjebak dalam kegelisahan.
"Yah?" panggilku ragu-ragu. Sampai Ayah menoleh aku melanjutkan perkataanku. "Hari ini ambil cuti ya? Kok nggak kekantor sih?" tanyaku penasaran. Awalnya aku ingin menanyakan soal Mas Cakra, hanya saja lidahku terasa kelu untuk mengatakannya.
"Ayah butuh waktu buat mikirin lamaran Cakra. Ayah nggak mau putri Ayah jatuh ke orang yang salah."
Mendengar apa yang dikatakan Ayah membuat seluruh darahku berdesir. "Waktu Kak Sherly nikah, Ayah gini juga ke Mas Baim?" tanyaku setengah becanda.
"Baim itu beda, Dhi. Dia udah kenal Kakakmu dari lama. Baim juga kerja di tempat yang sama. Masih bisa terpantau. Tapi Cakra, sekalinya salah, putri Ayah yang jadi korban."
Aku mengangguk setuju. Yang dikatakan Ayah ada benarnya. Sudah sewajarnya Ayah jadi sedikit berhati-hati dengan lamaran itu.
"Dhi?"
"Iya, Yah?"
"Semua baik-baik saja kan?"
Aku tahu hanya dengan sebuah anggukan kepala, Ayah tidak akan mempercayainya. Wajahku sudah terlihat sangat gelisah sejak aku datang menampakkan diri di depan Ayah.
Ayah terkekeh pelan. Mengusuk puncak kepalaku. "Udah dong, nggak perlu cemberut gitu."
Aku hendak memprotes. Bagaimana tidak cemberut kalau semua ini serba tiba-tiba.
"Ayah?" Aku berusaha memanggil Ayah dengan nada sedatar mungkin. "Boleh peluk, Yah?"
Aku langsung menghambur pelukan begitu beliau menganggukkan kepala. Cukup lama sampai aku rasakan tepukan halus di punggungku disertai bisikan halus tapi menenangkan. "Semuanya terserah kamu saja, Dhi. Ayah nggak akan pernah paksa kamu. Kalau kamu siap, Ayah orang pertama yang dukung kamu. Jangan pernah merasa sendirian. Kalau ada apa-apa kamu juga boleh cerita ke Ayah nanti."
"Makasih, Ayah. Makasih udah ngertiin perasaan Dhi." Ayah kembali menepuk punggungku pelan sampai aku melepaskan pelukan itu.
Jemari Ayah menghapus air mata yang sedari tadi turun. Membuatku tersenyum haru. Saat itu aku meraih tangan Ayah, mencium pergelangan tangannya berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion [END-LENGKAP]
General Fiction21+ (Completed) "Aku hanya orang ketiga yang nggak pantas mendapatkan cintanya." - Dhira Kirana Sundari **** Start: Kamis, 22 Desember 2022 Ending: Rabu, 07 Juni 2023