Bab 42. Wedding Gift

770 25 4
                                    

*Dhira*

Seluruh keluarga Mas Cakra sudah lengkap begitu aku datang. Termasuk Mas Cakra yang sudah ada di sana, di samping kursi kosong yang kemungkinan disiapkan untukku. Jadi aku hanya menyunggingkan senyum seramah mungkin. Menarik kursi di sebelah Mas Cakra, bergabung dengan anggota keluarga lain sebagai member baru.

Begitu aku datang. Pelayan menghampiri meja kami. Keheningan masih sama terasa waktu semuanya memilih menu dinner. Tidak ada suara terucap kecuali mengatakan menu yang ingin mereka pesan. Mas Cakra menoleh ke arahku begitu dia selesai dengan pesanannya. Hanya aku yang masih membuka buku menu, membuat orang lain menunggu. Jujur saja aku belum terbiasa dengan semua ini. Beberapa kali bukannya sibuk dengan memilih menu, aku beberapa detik selalu sibuk dengan asumsi di kepalaku. Asumsi mengenai keluarga Mas Cakra yang sangat tertata.

Akhirnya aku hanya memesan carbonara pasta. Sangat berbeda dengan pesanan keluarga Mas Cakra yang kebanyakan memilih steak. Perbedaan ini sedikit membuatku sedikit minder. Beruntung tidak ada yang membahasnya lebih jauh mengenai pilihanku yang berbeda. Meskipun ini hanya selera makan yang tidak perlu diperdebatkan.

"Apa kabar pernikahan kalian?" tanya ibu mertua begitu aku menerima pesanan dari waiters. Sedikit membuatku terkejut karena itu tiba-tiba. Sekaligus memecah keheningan yang ada di meja ini. Waktu aku toleh Mas Cakra, dia kelihatan santai menanggapinya. Seolah bukan pertanyaan berat untuk dijawab. Dan sepertinya Mas Cakra sudah sangat terbiasa dengan hal yang semacam ini.

"Baik kok, Mam," jawab Mas Cakra kala aku hendak menjawab. "Nggak ada masalah, ya kan Sayang?" Pertanyaan itu mengarah ke arahku. Yang aku jawab dengan anggukan santai. Kemudian fokus untuk makanan di depanku. Aku tidak mungkin menceritakan apa yang aku alami, atau aku akan dikatai kekanak-kanakan oleh keluarga Mas Cakra.

"Rencana kedepannya untuk kalian?" Pertanyaan lain yang keluar dari mulut Ibu mertua. Sedikit membuatku kelabakan untuk menjawabnya. Aku hanya beruntung ada di sebelah Mas Cakra, semua jawaban keluar dari mulutnya dengan sangat mudah.

"Hari ini pernikahanku jadi topik utamanya?" sambar Mas Cakra setengah terkekeh. "Mami nggak bisa bahas yang lain? Bisnis nggak lagi menarik?" Sepertinya Mas Cakra tampak tidak suka dengan pertanyaan Mami-nya. Meskipun sangat wajar orang tua menanyakan semua itu. Atau mungkin Mas Cakra berpikir kalau Mami-nya terlalu ikut campur, mengingat pernikahan adalah sesuatu yang sangat privasi.

"Hadiah pernikahan kalian dari Mami." Ibu mertuaku langsung mengulurkan amplop putih ke arahku. Sontak membuat spontan menoleh ke arah Mas Cakra. Menimbang aku akan menerimanya atau tidak. Hanya anggukan kepala yang aku dapatkan saat itu. Seolah mendapatkan persetujuan untuk menerimanya.

"Hadiah dari Mami biar kalian bisa menikmati indahnya menjadi pengantin baru," lanjut Mami.

Sementara aku segera mengecek apa isi amplop putih itu. Mengecek ditemani sorot tajam tatapan Mas Cakra yang juga ingin tahu apa isi amplop itu. Sama-sama terkejut begitu melihat isinya. Tiket pesawat penerbangan Bali.

Aku tidak beruasa lebih lanjut. Lebih memilih untuk menyimpan saja tiket itu. Mas Cakra bahkan enggan membahasnya. Itu kenapa diam lebih berguna daripada bersikap banyak bicara. Keluarga Mas Cakra bukan dari golongan orang yang suka berbual.

Makan malam berjalan sesuai apa yang seharusnya terjadi. Malam itu keluarga Mas Cakra lebih dulu meninggalkan meja. Menyisakanku yang masih di sana bersama Mas Cakra.

"Mau pulang sama siapa?" tanya Mas Cakra.

"Pak Rahmat aja," jawabku.

"Sama aku aja. Sekalian diskusi tentang hadiah dari Mami."

"Oke."

"Jawabnya singkat gitu aja? Kamu kenapa sih, Yang?"

Aku menghela napas panjang. Apa sih yang Mas Cakra harapkan dari sikapku? Toh dia sama sekali tidak peduli. Apa dia pernah bertanya tentang bagaimana seharusnya hubungan kita yang kelihatan baik-baik saja, padahal tidak!

Dan seolah tahu apa yang aku pikirkan, Mas Cakra meraih tanganku lalu berujar pelan. Nyaris tidak terdengar.

"I'am sorry kalau hubungan kita nggak berjalan sesuai apa yang kamu mau."

Di saat yang sama Mas Cakra beranjak dari tempatnya. Mendahuluiku beberapa langkah. Membuatku mendengus keras. Lantas menarik tas agak sedikit sedikit kasar untuk menyusul Mas Cakra.

Dasar! Old man!

****

Tidak banyak yang aku tahu dari Mas Cakra. Mungkin itulah yang menjadi masalah dalam pernikahanku. Ini memang bukan pertama kalinya aku disetirin Mas Cakra di jalanan Jakarta. Tetapi ini rasanya sangat berbeda. Ada kecanggungan di antara kami.

Mas Cakra juga nggak banyak bicara. Fokusnya masih ke jalanan Jakarta yang makin hari makin terlihat macet. Persis di depan, aku lihat mobil Pak Rahmat mendahului kami.

"Orang lain nikah tahun pertama kayaknya pada saling pamer kemesraan deh. Kita, aku lihat kita serasa makin jauhan aja." Mas Cakra terdengar bersuara setengah tersenyum.

"Ya Mas harusnya koreksi diri aja," jawabku masih berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya. Aku tahu kalau menoleh ke arah Mas Cakra kemarahanku akan lenyap begitu saja.

Mas Cakra meletakkan tangannya di pahaku. Memberikan usapan dan juga tepukan pelan di sana. "Soal hadiah dari Mama," perkataannya jelas menggantung saat itu. Tapi buru-buru dia tambahkan, "if you want, kita bisa pergi."

Aku tidak salah dengar kan? Kemudian aku melirik ke arah Mas Cakra. Menangkap keseriusan dari tatapan matanya. Aku harap Mas Cakra beneran serius karena setahuku, dia bukan orang yang dengan mudahnya meninggalkan pekerjaan hanya untuk hal yang tidak penting seperti liburan, tentu saja.

"Kamu mau?" tanya-nya.

"Mas Cakra sendiri nggak bakal mau ninggalin kerjaan hanya untuk liburan," balasku, membuatnya langsung mengerucutkan bibir.

"Itu lebih ke sindiran atau apa, Yang? Ya... mana mungkin lah aku pentingin kerja daripada liburan ke Bali. Nanti kamu ngambek lagi sama aku," godanya malah membuatku kesal. Siapa coba yang ngambek. Emang dasarnya sana aja yang keterlaluan. "Ini honeymoon, Yang. Bukan liburan biasa."

"Lagian siapa ngambek!" jawabku kemudian memasang wajah bete.

"Tuh kan ngambek." Mas Cakra langsung menunjuk hidungku sekaligus mencubitnya gemas. "Gemes deh kalau ngambek kayak gitu. Lucu. Pengen cium."

Setelah itu benar saja yang aku khawatirkan. Kemarahanku seakan lenyap begitu saja. Kemarahan seolah aku tinggalkan di masa lalu bersama dengan sikap cuek Mas Cakra yang sekarang malah tidak terlihat. Yang aku tahu sekarang, di bawah traffic light, saat melihat ke arahnya, bayangan mata Mas Cakra seolah membingkai diriku.

Cukup lama begitu aku merasakan tatapan itu. Mata elang Mas Cakra terasa hangat mencengkramku dalam dunianya. Menarikku ke dalam batas yang disebut 'mempercayainya' lagi. Bersama detak jantung yang bertabuh kencang, aku memutus cepat tatapan itu. Mengingatkan Mas Cakra bahwa mobil sudah harus jalan, sebelum kembali menoleh keluar jendela.

Kemacetan jalanan Jakarta kembali menyadarkan-ku, bahwa setiap detik orang di sebelahku ini bisa berubah kapanpun.

"Honeymoon ke Bali nggak buruk kan?" tanya Mas Cakra kembali membuatku menoleh. Jadi dia serius?

Aku mengangguk. "Mas, kamu nggak akan bisa ninggalin kerjaan kamu gitu aja."

"Hanya seminggu, kenapa nggak bisa? Kalau nggak bisa, nggak mungkin dong Mami kasih tiketnya. Coba pikirin seneng-senengnya. Apa kamu pikir aku nggak butuh liburan? Nggak butuh main? Nggak butuh quality time sama kamu?" Ia memasang wajah bete. Khas bete yang biasa Mas Cakra tunjukkan. Keningnya berkerut dalam.

Dan sukses membuatku tersenyum kecil. Mas Cakra beneran kelihatan seperti Om-Om yang lagi ngambek.

"Aku harap, Mas Cakra nggak bohong soal ini."

"Aku kelihatan berengsek banget ya dimana kamu?" tanya Mas Cakra sontak membuatku mengangguk pelan. Menyetujui perkataannya.

"Banget!"

"Yang kali ini enggak, Yang."

"I hope so."

Aku merindukan senyum itu. Lesung pipi yang membuatnya terlihat sangat manis. Aku merindukan semua tentang Mas Cakra yang aku kenal.

****

~ Minggu, 09/04/23

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang