*Cakra*
Sejak naik ke dalam mobil, Dhira hanya diam saja. Dia nggak berusaha meluruskan sesuatu. Bikin gue kesal sendiri. Gimana kalau Dhira nolak lamaran gue? Gue nggak mau itu terjadi.
Gue mencoba menoleh ke arah Dhira yang sedari tadi bergerak gelisah sambil menggigit ujung kukunya.
"Berhenti di sini, Pak."
"Kamu mau lari dari aku, Dhi?" Gue mengabaikan Dhira. Permintaannya itu jelas nggak masuk akal. Gimana bisa gue ninggalin Dhira dengan dress cukup mencolok seperti itu. Gue nggak setega itu kali.
Dhira sudah bersiap melepaskan seat belt. Sedikit bikin gue mengalihkan perhatian dari yang semula ke jalanan, mengarah ke Dhira. Tangan gue mengulur menghentikan dia.
"Aku nggak minta kamu jawab sekarang. Aku tahu kok hubungan atas dasar terpaksa nggak akan baik-baik saja nanti," oceh gue.
"Pak, please."
Gue nggak lagi ngomong apa-apa. Kalau ini artinya penolakan, gue harus cari cara lain buat meyakinkan Dhira.
****
Seperti yang gue katakan kemarin, gue akan cari cara lain buat meyakinkan Dhira. Setiap ada kesempatan gue datang buat dia.
Sekarang saja aku sudah duduk di gazebo kampus dalam rangka menunggu Dhira yang katanya bimbingan skripsi di ruang dosen.
Nggak lama gue lihat Dhira jalan ke arah gue dengan bibir setengah mengerucut. Kalau dilihat-lihat sebenarnya cukup cute. Bikin gue mau nggak mau jadi senyum. Ekspresinya sangat khas Dhira banget. Gampang sekali cemberut dengan dahi berlipat seperti itu.
"Kenapa?" tanya gue penasaran.
"Ada salah lagi. Ini padahal udah direvisi sesuai yang dibilang loh. Tapi masih aja tetep salah. Maunya apa sih!!" omel Dhira waktu itu. "Kalau ada yang salah itu mending bilang dari awal. Biar nggak bolak balik revisi gini. Dijelasin kurang apa aja. Capek kan kalau gini."
Gue melihat coretan kertas skripsi yang dilemparkan Dhira. Membaca satu persatu, tulisan dosennya kelihatan acak-acakan banget, bikin gue inget masa kuliah dulu.
"Masih inget apa yang dibilang dosennya? Mau aku bantu ngerjain?" tawar gue. Dari pada gue diam saja mending bikin Dhira terkesan. Jadi gue tawarkan saja segala bantuan yang Dhira butuhkan. Mumpung nggak ada Drew.
Gue memang seberuntung itu datang pas Drew lagi ada jadwal kuliah. Dhira sendiri yang bilang tadi. Gue beneran nggak sia-siakan kesempatan ini buat datang. Awalnya Dhira menolak dan bilang kalau dia nggak butuh teman. Meskipun begitu tetep gue paksa, sampai akhirnya gue ada di sini. Sama dia sekarang, gue lihat bagaimana kacau-nya dia pas lagi ngerjain skripsi. Sesuatu yang nggak bisa didefinisikan. Tapi cukup seksi.
Sambil membuka laptop, Dhira kedapatan mandang gue sekilas. Kelihatan banget waktu itu yang gue balas sama senyuman.
"Bapak Tanjung kenapa tuh Pak turun gunung tutup gerai bisnis retail-nya?" Pertanyaan yang Dhira lontarkan benar-benar nggak terduga.
"Kok malah tanya itu?" tanya gue akhirnya.
"Rugi puluhan triliun rupiah karna gerainya sepi," ujar Dhira. Gue nggak merespon sampai dia melanjutkan perkataan. Gue yakin Dhira mau ngomongin yang lain. "Berapa ya kerugiannya? Besar loh Pak! Nggak nyangka deh. Bapak kalau nyantai-nyantai kayak gini bisa kayak Pak Tanjung loh. Bisa bangkrut."
Gue terkekeh. "Anak TK banget tau nggak sih, Dhi." Gue mengacak-acak rambutnya. "Pak Tanjung itu skill bisnisnya nggak diragukan lagi. Rugi puluhan triliunan rupiah pun baliknya bakal defisit banget. Investasi bisnisnya nggak cuma satu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion [END-LENGKAP]
General Fiction21+ (Completed) "Aku hanya orang ketiga yang nggak pantas mendapatkan cintanya." - Dhira Kirana Sundari **** Start: Kamis, 22 Desember 2022 Ending: Rabu, 07 Juni 2023