Bab 28. Shouldn't Be

952 31 5
                                    

*Cakra*

Gue nggak pernah memutus tatapan gue ke arah Ceyla. Entah kenapa terus memperhatikan seperti ini malah bikin hidup gue sedikit lebih berarti.

Yap, Ceyla kembali tersenyum setelah apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Gue udah menyarankan buat tinggal sementara di apartemen gue sampai kondisinya sedikit lebih kondusif.

Sebenernya gue nggak tega lihat Ceyla kayak gini. Harus tinggal di tempat gue dan berpisah dengan anak-anaknya. Meskipun udah beberapa kali gue dapati dia mulai tersenyum, di saat yang sama juga termenung. Waktu gue tanya kenapa, dia bilang kangen anak-anaknya. Emang berengsek suami Ceyla. Kalau bukan karena Ceyla yang nahan gue buat lebih sabar, gue udah pasti bunuh dia sekarang.

Nyatanya, kayak pengecut lainnya, yang gue lakukan hanyalah menyesali semua keputusan gue dulu. Seharusnya gue nggak pernah membiarkan Ceyla nikah sama cowok ini. Cowok yang udah berani main tangan ke dia.

Satu-satunya yang bakal bikin gue tenang nanti mungkin kalau Ceyla tiba-tiba bilang ke gue kalau dia bakalan cerai sama suaminya. Entah itu kapan, gue harap segera terjadi. Kesabaran gue beneran udah tipis banget sekarang.

"Kalau capek jangan dipaksain kerja."

"Tanggung udah tinggal dikit banget."

"Kita makan di luar aja yuk? Pumpung habis hujan. Agak dinginan dikit," ajak gue. Kita udah jarang banget makan di luar sama-sama. "Biar nggak kayak dipenjara terus tiap kali ketemu maunya di sini terus."

"Tapi lebih private di sini sih. Lebih nyaman juga," jawabnya. Sejak nikah dia memang lebih sering membatasi diri seperti ini. Udah jarang keluar kalau sama gue. "Rahasia kita juga nggak bakal mudah kebongkar."

Gue tersenyum saja mengiyakan. Menyambar ponsel untuk order makan. Sepulang kerja selalu kegiatan ini yang kita lakukan. "Chicken wings aja. Lagi pengen."

Ceyla mengangguk.

Gue beringsut dari ranjang ke arah kamar mandi. Gue jarang mandi kalau udah malam. Biasanya gue pilih buat beres-beres sambil cuci muka. Sekalian pakai skin care seperti yang direkomendasikan Ceyla. Katanya biar nggak gampang tua. Ya gue nurut aja.

"Kamu sama Dhira ...." Ceyla menggantung pertanyaannya. Lantas ikut masuk ke dalam kamar mandi. Bersandar di westafel cuci muka memperhatikan gue yang saat itu lagi cuci muka. "Maksudku apa keuntungan Dhira masuk ke dalam hubungan kita?"

Gue menghela napas panjang. Kita nggak pernah membahasnya lagi setelah malam itu. Setiap kali kita ketemu, rasanya Ceyla nggak berhenti buat bahas Dhira. Gue nggak suka ini. Bukannya sudah jelas kalau Dhira akan mendapatkan apapun yang dia mau.

Separuh dari kekayaan keluarga gue juga pasti akan menjadi milik Dhira.

Gue janjikan Dhira nggak bakal kekurangan apapun.

"Apa lagi sih yang kamu khawatirkan, Beib?" tanya gue sembari membasuh muka.

Gue lihat Ceyla menarik handuk. Mengulurkannya ke arah gue. Tersenyum samar. Bikin gue bertanya-tanya apa dia sedang tersenyum atau hanya menatap datar. Jadi gue hanya bisa menunggu reaksi selanjutnya. Yang terjadi Ceyla malah berlalu begitu saja setelah itu. Membuat pembicaraan ini semakin menggantung.

Orderan chicken wings yang kita pesan sudah sampai. Setelah turun mengambil pesanan, gue meminta kepada Ceyla yang saat itu masih kerja untuk bergabung makan. Yang paling menyebalkan, Ceyla masih bungkam. Sedikitpun tidak berkata apa-apa.

Seperti biasa, gue mengambil piring kecil untuk wadah tulang ayam. Supaya kita lebih mudah menyisihkan tulangnya.

Kita seharusnya jadi pasangan seperti sekarang ini. Tinggal di dalam satu atap. Makan sama-sama sepulang kerja. Setidaknya sudah punya dua anak yang ikut makan sama kita sekarang.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang