Bab 41. Complicated

737 32 17
                                    

*Cakra*

"Mbok, Dhira udah pulang?" tanya gue ke Mbok Daru yang saat itu sedang menyiapkan makan malam. Jam segini Dhira biasanya ikut nimbrung di dapur, ngobrol sama Mbok Daru, tapi sekarang malah nggak kelihatan.

"Eh, Bapak!" Mbok Daru terkejut melihat kehadiran gue. "Sepertinya belum, Pak. Ibuk tidak kelihatan dari tadi."

Gue akhirnya mengangguk. Mencomot potongan ayam dari piring yang disediakan Mbok Daru sebelum akhirnya naik ke lantai atas. Tempat dimana biasanya Dhira lebih banyak menghabiskan waktu, dibandingkan gue yang lebih menyukai ruang kerja.

Pintu kamar nggak terkunci waktu gue buka, Dhira memang tidak pernah mengunci kamar utama karena gue kadang suka masuk buat ambil setelan kerja. Di kamar ini Dhira menambahkan meja belajar lengkap dengan komputer, sesuai dengan permintaannya. Gue awalnya menolak karena hampir bikin kamar ini agak lebih sempit, takut kotor juga kalau kebanyakan barang, tetapi Dhira membuktikan kalau anggapan gue salah.

"Sayang?" panggil gue. Nggak ada jawaban. Bikin gue langsung menarik kursi di meja belajarnya, mengambil duduk di sana. Kayaknya Dhira memang belum pulang. Gue lirik jam digital di atas meja. Menunjukkan pukul setengah delapan malam. Dhira nggak pernah pulang selarut ini. Kecuali izin lebih dulu.

Sambil menunggu Dhira, gue lihat buku yang masih tersegel rapi. Kelihatan masih baru.  Nggak ada tekukan sedikitpun di sana. Berjudul, spare, buku memoar dari mantan Pangeran Inggris. Gue tersenyum sama buku bacaan Dhira. Nggak nyangka aja dia ternyata tertarik sama buku semi politik seperti ini.

Namun gue nggak tertarik buat baca buku Pangeran Inggris. Gue lebih tertarik buat baca tumpukan kertas yang kelihatan lusuh. Hanya disatukan sama paper clip. Sebuah kertas yang waktu gue baca berisikan tulisan cerita panjang. Gue hampir nggak percaya kalau itu adalah karya Dhira. Ternyata dia berbakat juga nulis cerita semacam ini, bikin gue takjub.

Dan gue nggak sadar pintu kamar terbuka karena sangking asiknya baca cerita punya Dhira. Meskipun hanya beberapa lembar itu bikin gue tertarik.

"Loh, Mas." Dhira tampak terkejut begitu melihat gue duduk di meja belajarnya. Melirik ke arah kertas yang gue baca. "Mas ngapain?"

"To love someone, is to love them without limitations." Gue membaca kembali apa yang ada di kertas milik Dhira. "Love is limitless until it becomes a 'If you do this foe me, then I'll do this for you' thing. At this point, the whole meaning of Love' has become worthless." Gue setengah tertawa ketika membacanya. Apalagi melihat ekspresi Dhira yang terlihat sangat terkejut.

Tanpa banyak bicara Dhira merampas naskah yang ada di tangan gue. Ia terlihat sangat kesal waktu itu. "Nggak ada yang boleh baca ini kayak Mas Cakra ngelarang aku masuk ke ruang kerjanya Mas," katanya dengan wajah setengah jutek. "Lagian ngapain sih Mas Cakra baca-baca ini. Ini kan bukan punya Mas." Matanya beralih natap gue. "Mas juga jarang kan ke sini, kenapa sekarang jadi tiba-tiba?" Gue lihat Dhira sudah menaruh naskahnya di laci paling bawah plus dikunci.

Apa yang dikatakan Dhira memang benar. Gue jarang sekali datang ke kamar utama kalau memang nggak lagi butuh.

Gue emang berengsek. Bahkan selama nikah sama Dhira, gue belum pernah sentuh dia. Gue nggak tahu apa yang Dhira pikirin tentang gue. Tapi yang pasti lambat laun dia juga akan menyadarinya kalau pernikahan ini hanyalah catatan di atas kertas. Sesuatu yang harusnya nggak dia harapkan kedepannya.

"Mas mau apa ke sini?" tanya Dhira sambil membereskan buku-buku di meja belajarnya.

"Habis ini kita makan di bawah sama-sama." Hanya kalimat itu yang muncul. Gue masih belum berani mengatakan maksud yang sebenarnya.

Dandelion [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang