Mbak Lola dan Intan menggiring Adel ke taman belakang studio Little Miracle. Area terbuka itu terdiri dari lapangan rumput dan dua bangku di bagian sisi. Terkadang, tempat itu digunakan untuk sesi yoga outdoor atau staff gathering.
"Del! Tadi kenapa sih–"
Mbak Lola meremas jemari Intan, memintanya menahan diri.
"Kamu butuh sendiri dulu atau mau kita temenin, Del?"
Adel tak berniat menjawab. Ia takut jika membuka mulut sekarang, yang keluar hanyalah sumpah serapah.
"Intan, Lola."
Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan seketika berdiri sambil mengangguk sopan. Srikandi, yang biasa dipanggil Bidan Ika–as known as Ibuk Bos–berjalan menghampiri dari arah dalam studio.
"Intan, silakan kembali lagi ke depan. Nanti kalau ada yang datang kebingungan cari orang."
"Baik, Buk." Intan langsung melesat dalam sekejap.
"Lola, silakan kembali lagi ke kelas. Sudah banyak peserta yang datang."
"Iya, Buk. Terima kasih."
Mbak Lola sempat menoleh pada Adel dan mengusap-usap punggungnya sejenak, sebelum kemudian undur diri dari area taman.
Kini tinggal Ibuk yang berdiri di hadapan Adel, sementara perempuan itu masih tertunduk tanpa berniat menyapa atasannya.
"Kalau emosimu sudah berkurang, tolong ikut saya. Kita lanjut bicara di atas."
Sambil mengaitkan kedua tangan di belakang punggung, Ibuk memutar badan dan melangkah menjauhi Adel. Wanita berusia menjelang lima puluh tahun dengan postur gempal dan tinggi kurang dari 160 sentimeter itu berjalan ke arah tangga besi yang melingkar di sisi luar bangunan. Tangga itu menuju ke sebuah ruangan di lantai dua yang terpisah dari studio utama.
Adel melempar pandangannya ke arah Ibuk yang meski badannya berbobot besar tetapi tetap lincah bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ruangan di atas itu adalah ruang kantor beliau yang rutin disambanginya jika jadwal praktik di klinik sedang kosong. Klinik bersalin tempat Ibuk praktik sendiri, berlokasi di deretan gedung seberang Little Miracle. Jadi beliau bolak-balik setiap hari hanya dengan berjalan kaki tanpa pernah sekali pun terlihat kelelahan.
Sungguh sikap yang berbeda dari seorang Adel. Ia bangkit susah payah dan malas-malasan menyeret kakinya menyusuri jejak langkah Ibuk. Perempuan itu menapaki satu demi satu anak tangga sampai akhirnya tiba di depan pintu bercat putih.
"Masuk, Del." Suara Ibuk terdengar dari balik pintu.
Yang dipanggil menuruti perintah. Ia mendorong pintu yang tak tertutup rapat, melangkah ke dalam, menutupnya kembali, dan berdiri canggung seperti orang linglung.
Adel mengitari pandangan ke seisi ruang kerja Ibuk. Ini bukan kali pertamanya berkunjung ke sana, tapi setiap kali masuk ke tempat itu, rasanya selalu seperti yang pertama. Jamais vu.
Dinding-dinding ruangan yang dicat warna putih gading dengan hiasan wallpaper bernuansa pastel, masih senada dengan dekorasi keseluruhan studio Little Miracle, termasuk beberapa ornamen bertema baby and kids. Salah satu yang paling mencolok ialah lukisan yang tergantung di dinding belakang meja kerja Ibuk. Lukisan bergambar sketsa burung bangau yang terbang membawa buntalan kain berisi bayi.
"Adelia, ngapain di situ? Ke sini, duduk di sini," Ibuk menunjuk kursi di depan meja kerjanya dengan gerakan dagu.
Adel menggeser kursi yang dimaksud dan mengantarkan bokongnya perlahan-lahan. Hari itu, tak ada alunan instrumen musik klasik yang biasa diputar Ibuk dari komputernya. Tak terhidu juga wangi menenangkan aromaterapi yang biasa dipasang lewat diffuser. Semua serba hening dan menegangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Baby-To-Be
FantasyMeski berprofesi sebagai birth doula, Adelia sendiri tak pernah ingin menjalani kehamilan. Pengalaman buruk keluarganya di masa lalu membuat Adel menganggap dirinya akan turut mewarisi kegagalan yang sama. Sampai kemudian, Adel didatangi Bo, seekor...