Bukaan 3 (1) - For the Baby and the Family

149 17 3
                                    


Adel mendorong kencang pintu toilet dan menghempaskannya kembali tepat di hadapan Bo yang terbang menyusul dari belakang. Jika itu makhluk kasatmata, sudah pasti permukaan pintu dan bagian wajahnya akan saling beradu. Namun, bagi Bo tentu hal itu tak berpengaruh apa-apa. Sang bangau tetap melengos menembusnya dan mensejajari langkah Adel. Baru ketika mereka melintasi keramaian pasien rawat jalan di area ruang tunggu, bangau itu menyembunyikan wujudnya.

Sedikit melipir dari area ruang tunggu poli rawat jalan, bersebelahan dengan lift pengunjung, terdapat tangga darurat yang menuju ke basement. Ke sanalah Adel berjalan –tepatnya menyeret kaki– dan mulai menuruni satu per satu anak tangga dengan teramat pelan.

Adel tahu ini bukan mimpi. Meski ia masih berharap setidaknya hal-hal absurd yang terjadi hanyalah efek dari hangover-nya semalam. Perempuan itu masih berniat mengabaikan kata-kata yang disampaikan Bo barusan. Siapa tahu makhluk itu lama-lama akan menyerah dan mengaku ini semua hanya bualan. Atau siapa tahu pada akhirnya Bo akan menampakkan wujud aslinya sebagai jelmaan jin, demit, apapun itu, yang bermaksud menggoda manusia. Sungguh lebih baik Adel menemui rupa aslinya yang menyeramkan sampai dia menghilang dengan sendirinya, ketimbang menerima dengan logika bahwa hal-hal yang diucapkan Bo soal ruh bayi adalah nyata.

"Adel, sebaiknya kita bergerak cepat mencari pemilik asli ruh bayi ini. Jika besok tiba, maka kita kehilangan satu hari yang berharga." Bo kembali menampakkan diri dan mencegat Adel satu anak tangga di depannya.

Perempuan itu mendelik tajam.

"Ternyata bukan cuma gue yang kerjaannya nggak becus ya," liriknya sinis pada Bo. "Gue yakin bos lo nggak bakal cuma nyuruh break sih. Mungkin lo dipecat atau dikutuk jadi patung sekalian."

Bo terkesiap, "Betul, Adel! Itu tepat sekali! Bahkan lebih buruk dari itu. Jauh lebih buruk ...."

"Heu ..." cibir Adel, "Baguslah. Terima sendiri konsekuensi itu. Nggak usah lo bawa-bawa orang lain jadi harus tanggung jawab juga atas kesalahan lo."

"Kalau memang Adel tidak berkenan membantu, tidak apa-apa. Asalkan Adel siap untuk merawat calon bayi ini dengan baik ... nanti. Tapi aku tahu Adel sungguh dekat dengan proses kelahiran, jadi tentu dirimu akan menyambut kehamilan ini dengan sukacita."

Gara-gara perkataan Bo, langkah Adel terhenti. Satu kakinya yang belum sempat menapak ke anak tangga, menggantung di udara. Mendampingi kehamilan klien memang merupakan tugas yang selalu Adel jalankan sepenuh hati. Namun, jika harus menjalani sendiri sebuah proses kehamilan, tentu itu lain soal. Untuk menjalin hubungan dan pernikahan saja ia tak pernah siap. Apalagi menanggung komitmen sebesar menjadi ibu. Ia sungguh tak ingin nantinya terlahir keturunan yang juga akan mewarisi kegagalan demi kegagalan seperti yang dialami keluarganya.

"Sekarang lo ngaku, Bo, kenapa sampai ini semua bisa terjadi? Kenapa lo sampai bisa nyasar ngedatengin gue?" tutur Adel menginterogasi, demi mengalihkan pembicaraan sebelumnya.

"Baiklah, izinkan aku menjelaskan, Adel." Bo memutuskan hinggap di satu anak tangga yang lebih tinggi.

"Kemarin, saat aku memasuki dimensi manusia, tiba-tiba saja terjadi guncangan yang mengacaukan navigasi. Tubuhku melayang berputar-putar tak tentu arah selama beberapa saat dan ketika semuanya kembali normal, entah mengapa aku benar-benar kehilangan ingatan mengenai titik koordinat yang seharusnya aku tuju."

Adel menyimak dengan dahi penuh kerutan.

"Jadi aku mengandalkan kemampuan untuk menangkap sinyal-sinyal," lanjut Bo, "Satu sinyal yang berpendar teramat kuat, datang dari ragamu, Adel."

"Sinyal? Sinyal apa itu maksudnya?"

"Bahwa ada tempat yang siap menjadi rumah bagi ruh bayi ini." Pandangan Bo mengarah ke bagian perut Adel.

Baby-To-BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang