Bukaan 4 (1) - Hope is There to be Made or to be Wasted?

120 14 0
                                        

Adel terjaga saat telinganya menangkap pekik alarm paling janggal seumur hidupnya. Bunyinya seperti cicak mengetuk-ngetuk di balik lemari, tapi yang ini lebih keras dua kali lipat. Seperti dua kayu yang saling diadu dan menghasilkan nada datar. Tak-tak-tak-tak! Tak-tak-tak-tak!

Sambil masih terkantuk-kantuk, ia melipat bantal yang jadi alas kepalanya sampai menutupi seluruh wajah. Hampir saja Adel kembali menginjakkan kaki di alam mimpi, sebelum ia merasakan punggungnya ditusuk-tusuk ujung benda tumpul. Awalnya pelan saja. Adel mengabaikannya. Namun, lama-lama sensasinya mulai mengganggu. Seperti diberi pijatan terlalu kencang yang tak nyaman.

Adel terbangun dan mendudukkan tubuhnya di kasur. Ia menyadari Bo tengah mematuki punggungnya.

"Heh! Lo kira gue batang pohon!"

Tak-tak-tak-tak! Paruh Bo bergerak-gerak membuka dan menutup dengan cepat. Bunyi yang didengar Adel tadi ternyata berasal dari paruh atas dan bawah sang bangau yang saling bersentuhan.

Adel mengucek matanya. Ia tersadar sedari awal memang Bo hanya mengeluarkan suara sejenis itu. Kata-kata yang diucapkan Bo tak lain tak bukan disampaikannya lewat komunikasi batin kepada Adel.

"Kenapa, Bo?"

"Hari sudah pagi, Adel."

Perempuan itu bangkit dan menyingkap tirai jendela, bersiap menyambut sinar matahari yang menyoroti wajahnya. Nyatanya, sang surya masih belum juga naik ke singgasananya. Langit masih dipenuhi nuansa kebiruan yang perlahan memudar.

"Ini subuh namanya, Bo," ujar Adel dengan suara sedikit serak.

Ia lantas melangkah keluar kamar dan mengambil segelas air untuk membasahi kerongkongannya. Bo mengikutinya dan hinggap di atas tudung saji meja makan. Tatapannya lurus tertuju pada Adel yang kemudian membuka kulkas, mengambil sebutir apel, dan mulai mengunyahnya.

"Hmm," Adel menoleh pada Bo yang tampak termangu, lalu membuka pintu kulkasnya lebar-lebar, "Lo lapar ya, Bo? Ada yang bisa lo makan nggak di sini?"

"Entahlah, Adel. Apa kamu menyimpan katak rawa di dalam situ?"

"Ewh!" Adel berhenti mengunyah. Tak lagi berselera menyantap apelnya.

Masih dalam balutan celana piyama dan sweater hoodie belelnya, tanpa mandi sama sekali, Adel mengajak Bo ke luar rumah. Mereka berjalan sejauh dua blok dan tiba di deretan rumah yang mayoritas tak berpagar.

Adel berhenti tepat di muka sebuah rumah dengan desain minimalis yang dinding depannya dicat warna kuning gading. Itu adalah kediaman milik Intan, rekan kerja sekaligus sahabatnya di Little Miracle. Adel tahu ini masih terlalu pagi untuk bertamu. Namun, ia jelas hafal kebiasaan Intan setiap Minggu pagi ialah berolahraga di sekitar kompleks. Mungkin saat ini Intan tengah bersiap-siap ke luar rumah. Jadi tak masalah bagi Adel mengajak sahabatnya itu bertemu.

Seingat Adel, rumah Intan tak memiliki bel, maka perempuan itu pun melangkah ke depan pintu, berniat mengetuk dan memanggil langsung sang penghuni rumah. Namun, belum sempat mendaratkan ketukan, Adel mendengar suara-suara dari ruang tamu. Diawali bunyi berderak-derak seperti sofa yang diinjak-injak lebih dari satu orang. Dilanjutkan rintihan tertahan bernada tinggi dengan frekuensi berulang. Kemudian berselang-seling dengan deru napas mendesah yang lebih berat dan dalam.

Adel mengernyit.

"Ada apa, Adel?" tanya Bo. Bangau itu terbang melesat ke arah dahan pintu dan nyaris menembusnya begitu saja, jikalau Adel tak meraih kedua ujung kaki Bo dengan sigap.

Sang bangau oleng dan Adel menangkapnya sekaligus mengatupkan kedua tangannya di paruh Bo. Ia menjelaskan dengan menempelkan telunjuk di bibirnya. Perlahan ia mundur selangkah demi selangkah. Kakinya sengaja diangkat berjingkat-jingkat agar tak menimbulkan keributan.

Baby-To-BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang