Bukaan 6 (3) - The Thrill of Coming Home

87 12 0
                                    

Belum terlalu lama sejak kepulangan Adel terakhir ke rumah Mama dan Manda. Baru saja lebaran lalu. Meski lokasinya terletak di ujung kota satelit, terpisah jarak lima puluh kilometer lebih, Adel tak pernah menganggap rumah Mama sulit dijangkau. Satu-satunya yang menghalangi Adel pergi-pulang setiap hari, hingga akhirnya memilih mengontrak rumah dekat dari tempatnya bekerja ialah karena Adel tak ingin merepotkan keluarganya.

Sebagai anak bungsu, wajar adanya jika Mama dan Manda selalu ingin memanjakan Adel. Memastikan keinginan dan kebutuhannya terpenuhi. Bahkan hal sesepele apapun rasanya sang ibu dan kakak tak segan turun tangan membantu. Adel tak menyalahkan sikap mereka, pun tak membuatnya merasa risih. Hanya saja, bagi Adel, Mama dan Manda lah yang seharusnya mendahulukan kepentingan mereka sendiri. Terutama setelah hal-hal yang terjadi di masa lalu.

Dan hari itu, Adel berdiri di depan pintu rumah Mama dengan bimbang. Dirinya yang biasa datang dengan penuh semangat dan optimisme, kini justru membawa serta sebongkah masalah. Tapi, kalau bukan pulang ke rumah, Adel tak tahu lagi tempat lain yang bisa memberinya kedamaian, meski bukan berupa jawaban dan penyelesaian.

Rumah yang menyambut Adel kini, terbilang sederhana dan minimalis. Tak ada renovasi besar-besaran yang dilakukan untuk mengubah bentuk bangunan semula saat dibeli dari developer. Paling-paling hanya mengalihfungsikan area garasi menjadi dapur sambungan untuk menjalankan usaha katering sehat Mama dan Manda. Usaha yang diinisiasi Mama enam bulan pasca tragedi yang menimpa Manda demi mengisi kesibukan dan mengalihkan pikiran dari kesedihan berlarut-larut.

Rumah itu sendiri, mulai ditempati Mama tiga tahun setelah perceraiannya dengan Papa. Rumahnya yang lama, memang pada akhirnya menjadi milik Mama sama seperti hak asuh Adel dan Manda, apalagi Papa pun memilih angkat kaki entah ke mana. Namun, lingkungan sekitar rumah yang lama benar-benar berubah tak nyaman. Banyak kasak-kusuk tetangga kanan dan kiri. Belum lagi cibiran sinis dan stigma buruk yang dilontarkan pada Mama karena menyandang status janda. Alhasil, daripada makin membuat kondisi mentalnya terpuruk, Mama dan kedua putrinya pun memutuskan pindah, jauh dari kawasan tengah kota, jauh dari hiruk-pikuk padatnya penduduk.

Hal yang serupa tapi tak sama pun kemudian terulang saat Manda bercerai dengan suaminya. Dalam keadaan psikis terombang-ambing, Manda pulang ke rumah Mama ini dan menetap bersamanya hingga kini. Lantas, apakah Adel pun akan meneruskan rantai berikutnya? Juga pulang, mencari ketenangan, sekaligus melepaskan keriuhan kota besar beserta segala pemantik konfliknya.

"Del, kok bengong gitu? Ayo, sini masuk," Manda yang pertama menyambutnya tadi, kembali menegur sang adik karena termenung lama di depan pintu.

Adel menghela napas dan melangkah masuk sembari menutup pintu di belakang punggungnya. Ia menghampiri Mama yang duduk di ruang tengah lalu mencium tangan dan memeluknya.

"Pulang kerja langsung nyetir ke sini, Nak?" tanya Mama seraya mengelus pucuk kepala Adel.

Yang ditanya duduk terdiam di atas karpet tanpa langsung menjawab. Masalahnya, Adel belum sempat menyiapkan penjelasan. Mengapa dirinya tiba-tiba pulang di luar kebiasaan? Apalagi, ini masih Selasa malam. Jadi Adel hanya tersenyum dan mulai memijiti kedua kaki Mama pelan-pelan.

"Pas banget abis ini kita makan ya," suara Manda membuat Adel menoleh.

Dari muka ruang makan yang menyatu dengan dapur, Manda melongokkan kepala dan memberikan kode lewat gerakan matanya. Adel pun beranjak dan menghampiri panggilan kakaknya.

"Masak apa, Man?" tanya Adel sambil membantu menata piring, sendok, dan gelas di meja makan.

"Ini aja biasa," jawab Manda. Dengan cekatan tangannya meletakkan piring-piring dan mangkuk besar berisi capcay, ayam tepung asam manis, bihun goreng, dan sambal.

Baby-To-BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang