Bukaan 2 (1) - On The Way Home

153 16 0
                                    



Mesin Yaris hitam keluaran tahun 2008 itu mulai menyala, setelah Gian dan Adel menempati masing-masing jok di bagian muka. Sang bartender duduk tegak di balik kemudi, sementara pelanggannya terkapar rebah di samping kiri. Aroma kopi menguar dari pewangi yang menempel di depan kisi-kisi pendingin udara.

"Del, lo ke rumah yang di sini kan?" tanya Gian, membuatnya merasa bodoh. Pertama, Adel takkan menjawab. Kedua, sungguh pertanyaan yang spesifik dan menjelaskan.

"Maksudnya, ke kontrakan lo kan?" ralat Gian.

Cuma hening yang menimpali.

"Oke lah, semoga alamatnya masih sama."

Kendaraan pun melaju meninggalkan lahan parkir De Magico. Sesekali Gian melayangkan pandangannya ke arah Adel, lalu berpindah ke bagian dasbor. Ragu-ragu, apa sebaiknya ia menyalakan pemutar musik untuk menemani perjalanan.

Ini kali pertamanya mengantarkan Adel pulang. Dalam keadaan mabuk pula. Sebelumnya, Gian hanya pernah satu kali mendatangi kontrakan Adel untuk mengantarkan pesanan makanan dari De Magico. Kala itu ia memesan seporsi chicken wings, onion rings, sekaleng bir, dan bersikeras diantarkan pelayan resto karena tak ingin menanggapi pertanyaan macam-macam jika menggunakan jasa ojol hanya gara-gara ia memesan minuman beralkohol. Akhirnya, Gian berbaik hati membawakannya langsung ke depan pintu rumah Adel. Sayang, harapannya untuk singgah dan mengobrol sesaat, ditolak Adel mentah-mentah. Lelaki itu hanya menerima ucapan terima kasih, uang tip pengganti ongkos kirim, dan permintaan supaya segera pergi dari hadapannya.

Begitulah Adel. Pintu rumahnya yang berdebum kala itu, sama dengan pintu hatinya yang juga tak pernah dibuka lebar-lebar bagi seorang pria. Termasuk Gian.

Perkenalan keduanya bisa dibilang bukan baru semalam dua malam, atau sebulan dua bulan, melainkan telah menginjak tahun keempat. Pertemuan pertama mereka dulu –seperti bisa ditebak– juga dimulai dari interaksi bartender dan pelanggannya di sebuah bar bernama Palm Tree. Lokasinya yang berada di kawasan elit gedung perkantoran tempat Pillars Indonesia bernaung, menjadikan bar tersebut rutin dikunjungi Adel dan rekan-rekan sekantornya hampir setiap Jumat malam.

Yang membuat Adel berbeda di mata Gian, adalah sikapnya yang straightforward, cenderung ketus dan galak, khususnya pada lawan jenis, di saat justru para pengunjung wanita lainnya memanfaatkan social night di bar sebagai ajang tebar-tebar pesona. Tak heran jika kemudian keramahan yang ditampilkan Gian, sapaan hangatnya, bahkan sikap setianya menjadi pendengar keluh kesah mereka, justru dikomentari nyinyir oleh seorang Adelia.

"Lo ngapain sih capek-capek dengerin curhatan orang?" protes Adel kala itu, "Sori, dengerin doang sih masih mending, ini elo tuh sampe rela gitu ikut mikirin solusi atau menghibur orang-orang yang pada curhat. It's their own problem, dude, not yours!"

"It's part of the job, I think?" jawab Gian membela diri. "Kan nggak ada salahnya berbuat baik sama orang, apalagi kalo mereka emang lagi butuh banget tempat sampah."

"Oh, elo mau disamain sama tempat sampah?"

"Kalo ada temen yang curhat, masa' nggak ditanggapin?"

"Ya kalo temen beda lah, lo kan sama stranger!"

Percakapan berlangsung dengan Adel yang nyolot dan Gian yang meladeni dengan tetap kalem.

"Anyway, lo merhatiin ya setiap gue ngobrol sama customer?"

Skak mat! Adel yang speechless buru-buru mengambil gelas minumannya lalu melengos dengan dagu terangkat. Meski tak selalu bisa menangkis balasan Gian, hal itu tak menyurutkan Adel untuk terus-terusan berkomentar pedas di setiap kunjungan berikutnya.

Baby-To-BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang