Bukaan 4 (2) - Kindhearted People and Mistaken Signals

102 13 0
                                        

"Saat besar nanti, calon bayi ini akan tumbuh seperti anak-anak yang berlarian di taman tadi ya."

Adel mendengar kata-kata Bo dalam kondisi terkapar di lantai. Seusai menjelajah taman kota bersama Intan tadi, sesampainya di rumah, Adel mencari sensasi kesejukan instan dari petak-petak ubin yang dingin.

"Aku membayangkan bayi ini terlahir menjadi anak laki-laki yang lincah dan riang, atau anak perempuan yang manis dan penuh tawa," lanjut Bo, masih tampak bersemangat.

Adel menolehkan kepala dan memiringkan tubuhnya ke arah Bo, "Memangnya ruh bayi itu perempuan atau laki-laki?"

"Aku tak bisa menjawab hal itu, Adel. Rahasia itu hanya akan diketahui oleh calon orang tuanya nanti."

"Ah, nggak seru."

"Tapi, anak laki-laki atau perempuan, takkan ada bedanya kurasa. Mereka sama-sama layak dilahirkan ke dunia."

"Ke dunia yang baik. Ke tangan-tangan yang berhak dan pantas merawatnya," timpal Adel, "Bukan ke tangan sembarangan yang dipilih acak gara-gara kesasar."

Perempuan itu memutar lagi badannya membelakangi Bo. Ada getir yang membayangi batinnya, setelah kegagalan demi kegagalan mengajukan kandidat yang dianggapnya pantas menjadi pemilik sang calon bayi. Dirinya masih terancam beban dan tanggung jawab tersebut, padahal ia sama sekali tak mampu menjadi orang tua yang baik.

Lagian nggak ada bedanya gimana? Kalau syukuran kelahiran bukannya yang perempuan cuma nyembelih satu kambing, tapi yang laki-laki mesti nyediain dua ekor?

Adel jadi teringat percakapan dadakannya barusan saat ia berjalan pulang memasuki gerbang kompleks perumahan. Saat ia melewati pos penjagaan keamanan dan bertegur sapa dengan sang satpam.

"Neng Adel, libur?"

"Eh, Pak Tatang. Kan ini Minggu, Pak."

"Iyah, Neng. Nggak dinas berarti ya?"

Adel berpikir sesaat mendengar kata dinas. "Iya. Bapak juga kenapa nggak meliburkan diri hari Minggu gini?"

"Ya mana bisa atuh, Neng. Lagi rame pisan hari ini teh. Nanti kan ada tiga undangan di sini."

"Oh ya? Di mana aja tuh, Pak?" balas Adel basa-basi, padahal ia tak begitu tertarik mencari tahu.

"Yang pertama, ada pengajian dan siraman putrinya Pak Alan. Yang kedua, akikahan cucu laki-lakinya Bu Popi. Sama satu lagi, syukuran empat bulanan istrinya Mas Reksa," jelas Pak Tatang dengan gerakan tangan yang menunjuk ke arah berbeda-beda.

"Wah ... semangat ya, Pak!" sahut Adel sembari hendak berlalu, tapi ternyata Pak Tatang masih ingin mengajaknya berbincang.

"Memang bener gitu, Neng, sekarang teh lagi musim lahiran?"

"Wah, kata siapa?" Adel melepas tawa hambarnya, "Kalo musim rambutan sih udah lewat, kalo musim mangga kayaknya belum."

Pak Tatang ikut terbahak-bahak, "Biasanya Neng Adel teh suka bantuin lahiran kan? Suka dinas malam-malam. Waktu itu juga pernah jam tiga subuh minta bukain gerbang ke Bapak."

"Sekarang enggak dulu tapi, Pak," Nada suara Adel melemah, hampir saja ia kelepasan curhat seandainya Pak Tatang tak langsung menyambar dengan curhatan beliau terlebih dahulu.

"Anak Bapak teh kebetulan lagi hamil juga, Neng. Ya masih muda juga sih, kata parajinya sekitar satu bulanan usianya."

"Oh, gitu, Pak."

"Iyah. Masih muntah-muntah wae ya, Neng, umur segitu mah," imbuh Pak Tatang, "Kebeneran ketemu Neng Adel, Bapak teh mau tanya. Bener gitu itu banyak pisan pantangannya? Nggak boleh makan yang dingin-dingin, yang pedes-pedes, yang asam-asam, yang–"

Baby-To-BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang