Ravan sedang berjalan di koridor sekolah menuju kantin karena teman-temannya sudah menunggu di sana, tadi ia tidak ikut ke kanti saat bel istirahat berbunyi karena ada urusan sebentar.
Namun dalam perjalanan pandangannya tak sengaja menangkap seseorang yang ia kenali sedang berjalan keluar kelas di sana.
Ia berjalan lebih cepat untuk menghampiri orang itu.
"Vin!" Panggilnya yang membuat orang itu berbalik menatapnya.
Ravan semakin mendekat hingga berdiri tepat dihadapan orang itu. Menghentikan langkah untuk menemukan tatapan itu lagi.
Anak laki-laki yang ia tatap itu menaikan sebela alisnya melihat kehadiran Ravan di sana.
"Kenapa? " Tanyanya.
Ravan menghembuskan nafas menatap pada bola mata tajam itu "Kenapa kemarin, abang liat dua hari eskul futsal kayak gak semangat, sakit?" Tanya Ravan balik.
Yang ditanya hanya diam, membiarkan jeda panjang hadir di antara mereka untuk waktu yang cukup lama.
"Udah lah gak usah sok perhatian sama gue bang. "Ketusnya kemudia. Dia adalah Ravin. Ravin itu adik laki-laki Ravan, yang sekarang kelas 11.
"Abang cuma nanya." Ujar yang lebih tua dengan tenang.
Ravin berdecak kemudian menatap Ravan dengan pandangan sulit di artikan, benarkan Ravan bertanya tentang keadaannya. Mestinya Ravan tahu segalanya tidaklah bisa di katakan baik. Tentang dia, tentang rumah, tentang Papa, dan tentang mereka.
Ia berucap, " Abang semestinya udah tahu. Abang keluar dari rumah, Papa pasti marah. Tapi abang tetep keluar dan yang kena imbasnya siapa? Ravin, Saura, dan Faura pun kena jadi gak usah sok peduli sama kita yang udah jelas-jelas nggak baik-baik aja. "
Apa yang Ravin ucapakan sempat membuat Ravan diam, membiarkan sang adik untuk menatapnya lebih dalam di tengah sepihnya tempat mereka bediri kini.
"Memang apa yang Abang perbuat? kalain dimarahi? dikekang? Bukannya kalau abang di rumah kalain makin dikekang sama
Papa? "Sejujurnya Ravan tak pernah mau membahas hal itu lagi di tambah mereka sekarang yang tengah berada di lingkungan sekolah.
"Udah lah bang, gue mau pergi pacar gue nunggu." Ucap Ravin hendak pergi.
"Laila? "
Langkah Ravain berhenti saat itu juga. Nama yang Ravan sebut membuat raut wajah Ravin jadi berbeda tampak terkejut dan gelisah, namun coba ia tutipi.
"Bukan. " Jawab Ravin.
"Putus? punya pacar lagi? nggak inget pesan Bunda? "
Ravin menoleh menatap tak suka pada Ravan, ia tahu betul arah pembicaraan ini.
"Sorry. Gue nggak alim kayak lo. "
Detika berikutnya anak laki-laki itu berlalu menyisakan sang Kakak yang bediri dengan istigfar akan kelakuan adiknya.
Ravan menghela nafa, di tengah sepihnya lorong sekolah ia hanya menatap punggung Ravin yang menjauh.
Melanjutkan kembali langkahnya Ravan jadi berfikir sejenak tentang pembicaraan awal mereka. Apa dia harus kembali ke rumah itu lagi tapi untuk apa? Bukannya akan tetap sama ada atau tidaknya dia. Bukan kah kepergiannya hal yang menguntungkan bagi Aura ibu tirinya, ibu dari Saura dan Faura.
Pada akhirnya pulang bukan jalan yang ia pilih.
。。。。。
Ceklek...Ravan membuka pintu kamar, langsung mendapati sosok yang kini selalu ia temui setiap pulang ke rumah.
Wajah mungil yang tertidur itu kini selalu menyambut harinya, tangisan itu sudah tak asing lagi ditelinganya, di mana ia melangkah di rumah ini selalui ia dapati mainan milik si cantik pemberian dari para anggota AREKX.
Si manis itu yang belum mengerti tentang dunia tapi sudah bisa menjadi dunia bagi Ravan.
Sumber bahagianya Ravan, bagaimana hanya dengan mengingatnya senyum itu kembali terbit diwajah Ravan. Jika bisa dipilih Ravan ingin terlahir sebagian ayah kandungnya Reva. Jika itu terjadi Ravan pastikan taidak akan ada momen sadis yang Reva rasakan di bawah hujan kala itu.
Namun yang terjadi sekarang tak kalah indah dengan espektasinya, karena meski berbeda pada kenyataan ia tetap menjadi ayahnya Reva, Tuhan tetap kirimkan Reva padanya, sebagai bidadari kecil anugra terindah dihidup Ravan kala masalah di keluarganya silih berganti hadir.
Tuhan baik, sangat baik karena ia mempertemukan Reva dengan Ravan, sehingga kini Ravan punya alasan untuk terus mempertahankan seyum itu.
Kini Ravan punya rumah, arti kata rumah sesungguhnya kini ia dapati, tempat ia pulang beristirahat setelah lelahnya dunia luar. Tuhan tolong buat Reva terus berada di sisi Ravan, Ravan menyayanginya.
"Mhhh. "
Reva sedikit mengeliak saat Ravan mendekat tapi tak urung untuk terbangun dari tidurnya.
Ravan mengelus puncak kepala Revan lalu mengecupnya dengan penuh sayang.
Hari ini ia cukup lelah karena harus mengurus persiapan pergantian osisi. Ya, sebentar lagi ia akan lepas jabatan sebagai ketua osisi, dan secara kebetulan atau bagaimana tugas sekolahnya banyak sekali untuk minggu ini. Waktu Ravan terbagi lebih banyak sekarang.
Dia yang dulunya sibuk beraktivitas di luar saat siang dan belajar saat malam hari, kini harus lebih cepat menyelesaikan aktivitas di luar rumah bahkan terkadang ada yang ditunda sehingga banyak yang menumpuk begitu pun malam hari sehingga ia harus tidur lebih larut, karena sekarang ia punya tanggung jawab yang besar, bukan hal sepele tentunya, ia punya bayi.
"Hmmm. "
Ravan tersadar dari lamunannya yang sedari tadi terus menatap Reva, saat sebuah tangan kecil menggenggam jari kelingkingnya, Ravan mengelus tangan mungil itu dengan senyuman, rasanya lelahnya tiba-tiba hilang saat itu juga.
"Reva jangan tinggalin Ayah ya, Ayah gak akan pernah capek hadapin semua kalau Reva selalu ada di sini, genggam tangan ayah. " Ucapnya. Meski ia tahu Rava tak mengerti dan tak bisa menjawabnya.
"Revanya alaska, akan terus di sini sebagai putri kecilnya Ravan alaska ebrida. "
.
.
.
.
.Chapter nya singkat banget ya?
Next.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANYA
Короткий рассказ[ SEDANG REVISI ] Menjadi seorang Ayah di saat dirinya belum menikah dan masih dalam status siswa SMA kelas akhir, itu tak pernah terpikirkan oleh seorang RAVAN ALASKA EBRIDA. Namun bayi yang ia temui di tengah dingin dan gelapnya malam membuat sem...