Ravin terdiam, duduk di balik jeruji besi yang dingin itu. Para tahanan yang lain sudah kembali beristirahat, malampun semakin larut.
Pria dengan baju berwarna biru tua itu masih tidak menyusul temanya yang lain untuk beristirahat dari kenyataan yang ada.
Ravin menatap lekat amplop putih yang berisi surat dari sang Kakak. Hari itu hari di mana Ravan datang untuk menemuinya tapi hanya goresan tinta di atas kertas yang ia berikan. Ternyata Ravan memberi balasan untuknya.
Tapi sampai hari ini entah mengapa Ravin belum juga membuka surat itu. Tak tahu pasti alasannya hanya saja ia belum siap untuk kata apa yang Ravan tulis di sana.
Sudah dua minggu lamanya sejak terakhir Ravan datang soreh itu. Setelahnya laki-laki itu benar-benar tak datang lagi. Sudah dua minggu pula Ravin tak membuka surat itu sama sekali.
Tengah hari tadi. Tepatnya setela jam makan siang tiba-tiba ada seseorang yang datang untuk menemui Ravin. Ia kira itu Ravan yang datang lagi setelah dua minggu, tapi ternyata tidak. Yang datang mala seseorang yang tak pernah ia sangka akan datang untuk mengunjunginya.
Ravin merasa ini seperti sebuah lelucon, setelah lima tahun ia mendekap di dalam penjara, Ini adalah kali pertama orang itu datang. Orang yang katanya sudah sangat asing dalam hidupnya, setelah hari persidangan itu kini Ravin kembali melihat sosoknya.
Mereka duduk berdua saling bersitatap. Karismanya pria tua itu tak pernah berubah sama sekali bagi Ravin.
Hening sempat melanda sampai Ravin yang memulai bicara terlebih dahulu.
"Masih hidup? " Pertanyaan tak pantas itu Ravin lontarkan dengan wajah datarnya.
Tuan Rendra Ebrida yang terhormat itu hanya terkekeh sinis, bersedekap melihat replika dirinya kini menatapnya nyalang.
"Seperti yang terlihat "Jawabnya santai.
Ravin berdecak kemudian bersedekap juga, menatap Rendra dengan dingin.
"Oh. "Jawabnya singkat.
Rendra tertawa kecil melihat Ravin. Jika Ravan menuruni sifat Roseana, maka Ravin menuruni sifatnya yang menyebalkan.
Seasing apapun mereka tak ada siapapun di bumi yang bisa merubah bahwa dara yang mengalir dalam tubuh Ravin adalah dara Rendra. Tapi bagi Ravin lucu saja jika ia di akui sebagai anak oleh laki-laki di hadapannya ini.
"Ada perlu apa ke sini?" Tanya Ravin langsung malas jika harus bertele-tele dengan pria tua itu.
Rendra menghembuskan nafas lalu menatapa lamat Ravin.
"Kamu ingin melihat kakak mu? "
Ravin mengeryit.
"T-tentu saja. ""Maka berdo'a lah agar tuhan memberikan kesempatan itu. "
Ravin tak tahu pasti apa maksud Rendra mengatakan hal itu padanya. Karena setelahnya pria itu tidak menjelaskan apa-apa dan langsung pergi begitu saja. Menyebalkan bagi Ravin.
Dan malam ini ia benar-benar penasaran apa yang telah terjadi di luar sana. Apa saja yang tak akan ia tahu setelah bebesa nanti.
Lalu pada akhirnya ia membuka surat dari Ravan dua minggu yang lalau. Sesuatu ia keluarkan dari dalam amplop putih itu.
Ravin tertegu menelan ludanya susah payah, dunia seolah berhenti sejenak meninggalkan gelap gulita dan dirinya terasa hanya seorang diri.
Sunyinya malam menemani otak Ravin yang begitu berisik malam ini.
Ia terus menatap lekat foto di tangannya yang berasal dari dalam amplop.
Foto anak kecil perempuan yang tersenyum manis, dia cantik sangat cantik dengan rambut panjang tebalnya. Pipinya gembul dengan senyuman mengembang. Matanya nyaris tenggelam memamerkan deretan gigi rapinya. Di tangan gadis kecil dengan dress putih itu ada permen kapas biru muda. Ia terlihat sangat bahagia.

KAMU SEDANG MEMBACA
REVANYA
Short Story[ SEDANG REVISI ] Menjadi seorang Ayah di saat dirinya belum menikah dan masih dalam status siswa SMA kelas akhir, itu tak pernah terpikirkan oleh seorang RAVAN ALASKA EBRIDA. Namun bayi yang ia temui di tengah dingin dan gelapnya malam membuat sem...