{22}. Senyum semanis dia

1.9K 115 1
                                    

Mungkin tak akan pernah lekang, tak akan pernah pudar, dan tak akan pernah hilang. Waktu berjalan bersama rasa yang tumbuh semakin dalam. Kehadirannya yang membuat hati terus bersyukur, membuat raga bertekat untuk terus bertahan. Janji untuk memeluknya lebih erat dari kekejaman semesta seakan membuat Ravan terdorong untuk membawa setiap tawa untuknya.

Kembali ia lihat bagaimana hati tulus itu terus menebar bahagia, siang itu langit biru menaungi mereka dengan gembira sama halnya dengan apa yang di rasakan para malaikat kecil yang tinggal di panti itu, kala putri kecilnya Ravan membagikan mainan yang kemarin Aza berikan pada mereka semua dengan senyum paling tulus.

Pagi minggu yang indah, saat Ravan sedang berada di garasih dan menemukan si kecil sedang menarik gerobak mainan berwarna merah penuh paper bag berisi mainan, lalu tersenyum dan berseru gembira untuk mengajak Ravan pergi ke panti.

Dengan kekehan dan gelengan kepala, Ravan pada akhirnya membawa Reva ke salah satu pantai tempatnya sering kali menyumbangkan beberapa kebutuhan panti. Atau lebuh tempatnya Ravan adalah donatur terbesar panti malaikat bunda.

Reva pernah sekali ikut saat umurnya empat tahu, dan kecanduan untuk terus ikut karena di sanah ia disambut dengan cara sederhana namun berkesan dan menyenangkan. Bagaimana anak-anak itu tertawa dan berbagi cerita yang mungkin tak masuk akal orang dewasa, membuat Reva merasa senang setiap kali berkunjung ke panti dari pada liburan ketempat-tempat wisata kala hari kibur datang.

"Makasih Reva! " Ucap para anak-anak panti.

Reva tersenyum hangat dengan mata yang hampir tenggelam, "Sama-sama. "Jawabnya.

"Ayo, kita main lagi kayak waktu itu!" Ajak seorang anak perempuan dengan rambut terkepang, Meika. Salah satu teman paling dekan Reva di panti itu.

"Ayo! " Reva jelas menerima dengan sangat senang, sebelum itu ia menoleh kebelakang pada sang ayah yang sedang berdiri tak jauh darinya.

"Ayah Reva main dulu ya! "

"Iya, hati-hati sayang. "Balas Ravan, lalu detik selanjutnya Reva berlalu menuju taman, bergandengan tangan dengan Meika.

Ravan tersenyum kecil melihat interaksi itu. Pria dengan hoodie biru tua dan cela Levi's hitam itu berdiri menatap, dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku hoodie.

Tak banyak yang berubah, lima tahun berlalu dia masih nampak tampan hanya saja kini setatusnya sudah bukan anak sma lagi melaikan seorang CEO perusahaan ternama yang ia bangun dengan susah payah.

Perusahaan sang kakek kini kembali pada masa kejayaannya, berkat kerja keras Ravan dan orang-orangnya selama ini, memang tak muda awalnya apa lagi dirinya yang masih mahasiswa harus meluangkan banyak waktu untuk perusahaan yang hampir gulung tikar. Namun buktinya sekarang ia berada di sinih dengan segala pencapaian yang tak pernah lupa ia syukuri.

Tampan, mapan, Black card, good akhlak, rajin shalat. Sudah jelas material husband sesunggunya. Namun laki-laki berusia hampir 23 tahun itu masih setia pada status lajangnya. Mungkin karena kesibukannya pada dunia bisnis membuat ia tak pernah berfikir akan mencari ibu untuk Reva.

Banyak juga orang yang tak benar-benar meneganal tentang kehidupan pribadinya, mengira bahwa dia telah menikah karena jelas-jelas ada seseorang anak perempuan yang sedikit mirip dengannya memangil ayah pada Ravan. Meski terkadang orang-orang bingung karena umur semuda itu sudah memilik anak usia 5 tahun, yang berarti ia telah memiliki anak sejak usia 18 tahun. Namun banyak juga orang mengira Reva adalah adik Ravan.

"Pak Ravan, kenapa tidak masuk? " Sebuah suara membuatnya menoleh dari memperhatikan anak-anak di taman sedang barmain.

Itu ibu panti, namanya Bu Mayang. Wanita paru baya berhijab itu menghampiri Ravan yang masih setia berdiri di teras.

REVANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang