24. laki-laki?

878 118 18
                                    














Pasusu 2








Kemarin sore; berlatar piknik kecil-kecilan di halaman belakang rumah.

"Kakak Areum, ini siapa?" Tanna menunjuk sebuah foto pada lembar halaman ke empat yang terdapat di album foto milik Hoseok dan Areum yang iseng ia buka. Seingatnya Areum membawanya tadi dari dalam rumah, lalu di taruh asal di dekat keranjang buah-buahan di ujung karpet. Yang di lempar pertanyaan melirik sekilas, kemudian mulai mendudukkan tubuhnya, sebelum bergeser mendekati Tanna. "Dia mirip kakak Areum" gumamnya seraya meneliti setiap sudut wajah perempuan dalam foto tersebut, Areum terkekeh pelan, mencubit lembut pipi Tanna kemudian menjawab singkat.

"Ini, mama"

"Mama?"

Areum mengangguk. "iya, mamanya kakak. Cantik kan?" Tanyanya mengundang anggukan setuju dari Tanna, si kecil tersenyum seraya ikut menambahi. "Cantik sekali. Cantik seperti papa"

"Iya, tapi mamanya kakak perempuan" mendengarnya Tanna malah mengerutkan keningnya, sebenarnya tidak begitu heran mengingat ibu dari teman-temannya juga adalah seorang perempuan, pun ayah pernah bilang meski ibu Tanna bukan seorang perempuan tapi kedudukan papa, papiyo, dan papi Seokjin sama seperti seorang ibu pada umumnya, tidak ada yang berbeda. Jadi disana, yang membuat bingung sebenarnya tindakan kakak Areum yang terlihat seperti sedang memperjelas padahal Tanna sudah tahu. "Berbeda dengan papanya Tanna" lanjutnya lagi, Tanna sekali lagi mengangguk mengiyakan meskipun sedikit merasa ragu. "Sebenarnya, kata ibu guru di sekolah yang seharusnya mengandung dan melahirkan itu seorang perempuan, seperti mamanya kakak dan nenbu."

Tanna terdiam untuk sesaat, si kecil yang yang dua bulan lalu baru berusia lima tahun itu masih berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir kakaknya. Lalu bertanya kebingungan, "memangnya kenapa kalo seorang laki-laki?"

"Itu aneh"

"Papa tidak aneh!" sahutnya cepat, merasa sedikit tidak terima sehingga suaranya tanpa sadar meninggi. Areum yang mendengarnya berjenggit setengah terkejut, ia menatap ke arah Tanna dengan matanya yang membulat. Lalu mendadak suasana hening seketika, Tanna menundukkan kepalanya, hendak meminta maaf karena sudah bertindak tidak sopan, tapi balasan dari kakak Areum justru kini malah membuat ia terkejut.

"Pemarah" Areum mencibir dengan sarkas, tatapan matanya menajam, terarah pada Tanna yang kini mendonggakkan kepalanya, membalas tatap dengan sorot polosnya. "Kakak tidak bilang papanya Tanna aneh, tapi kenapa Tanna marah?"

"Tanna tidak suka kakak bilang begitu"

"Yang kakak bilang itu benar kok, laki-laki memang seharusnya tidak bisa mengandung dan melahirkan"

"Tapi papa bisa"

"Seharusnya tidak!" Pekiknya setengah membentak, keduanya lantas sama-sama terkejut. Tapi, Areum tidak berhenti sampai di sana, ia masih saja terus melanjutkan, tidak peduli dengan kedua mata Tanna yang kini sudah terlihat berkaca-kaca. "Seharusnya tidak bisa, Tanna. Hanya perempuan saja yang bisa" katanya bersikeras, tidak mau menyerah, dan masih kukuh dengan kepercayaannya terhadap ucapan gurunya di sekolah.

Tanna menggelengkan kepalanya berulang kali, bersamaan dengan itu air mata jatuh membasahi pipinya. Lalu Ia berusaha membalas tak ingin kalah, "Tapi, kalo papa tidak bisa, Tanna tidak akan ada disini"

"Tetap bisa, kalo Tanna bukan lahir dari paman Kookie" seru Areum dengan kesal. Tanna membalasnya dengan tatapan kebingungan, tangisannya berhenti, ia menatap sepenuhnya pada kakaknya itu, menunggu penjelasan lebih lanjut. "Maksudnya kamu bukan lahir dari paman Kookie, tapi dari orang lain yang seorang perempuan, terus waktu bayi kamu diambil paman Taetae dan paman Kookie buat dijadikan anak mereka, begitu" paparnya berusaha menjelaskan dengan kalimat yang mudah Tanna mengerti, meski ia sebenarnya juga sedikit kesulitan. "Pokoknya itu namanya adopsi. Kakak nonton di televisi banyak kok yang seperti itu, mereka waktu kecil tinggal di tempat yang banyak anak-anak gitu, terus diambil deh sama orang lain buat dijadikan anaknya"

Tanna menggelengkan kepalanya berulang kali, "tidak! Tidak seperti itu" sanggahnya.

"Memang pasti seperti itu"

"Kakak jahat!"

"Kakak bicara benar kok"

Si kecil melempar asal buku album dipangkuannya sebelum memutuskan beranjak dari duduknya, ia menatap kesal ke arah kakaknya. "Kakak bohong!" Tuduhnya yang dibalas decakan keras. "Jangan bicara begitu. Tidak boleh, disini sakit tahu" Tanna menunjuk-nunjuk dadanya, suaranya tersendat-sendat sebab masih terus menangis.

"Kakak tidak bohong!"

"Tidak. Kakak bohong. Kakak bohong" pekiknya berulang kali seraya berlari masuk ke dalam rumah nenek dengan tangisannya yang semakin terdengar keras. Meninggalkan Areum yang masih terduduk di tempatnya, si kakaknya itu mulai ikut menangis seraya mengambil album foto yang tadi dilemparkan Tanna, lalu menyusul masuk ke dalam rumah ketika mendengar suara neneknya yang berseru panik sebab mendapati cucu bungsunya tidak mau berhenti menangis.

Kejadian sore itu mendatangkan luka berkepanjangan untuk Tanna. Bahkan selepas ia dan kakak Areum pada akhirnya saling maaf-memaafkan, pun setelah ayah menjemputnya untuk pulang, dadanya masih terasa sakit. Tanna tidak bercerita pada sang papa maupun ayah, sebab ia merasa takut, takut jikalau apa yang Areum katakan pada kenyataannya memang benar begitu adanya. Bagaimana kalo memang ia sebenarnya lahir dari orang lain yang seorang perempuan? Bagaimana kalo papa dan ayah marah karena Tanna bertanya tentang itu? Bagaimana kalo nantinya papa juga merasa sakit karena mengira Tanna menganggapnya aneh?. Jadi, ia memilih untuk menyimpannya sendiri, lagipula esok hari mungkin semuanya akan lekas membaik.

Hanya saja, sakit di dadanya tidak kunjung membaik bahkan di keesokan pagi harinya ketika ia membuka mata, pun sakitnya tidak lekas pergi bahkan ketika ia sudah bertemu dan bermain dengan teman-teman seusianya. Justru semakin di perparah oleh pertanyaan dari salah satu teman sekelasnya, "Tanna, kenapa kamu tidak memiliki ibu?" Pertanyaan seperti itu seharusnya tidak muncul kepermukaan jikalau Miss Shea tidak membahas perihal orang tua, sosok yang teramat berharga untuk seorang anak. Biasanya terdiri dari ayah dan ibu. Laki-laki dan perempuan. Yang salah satunya memang tidak Tanna miliki. Jadi disana, hal itu jelas mengundang pertanyaan dari teman-temannya sebab Tanna hanya memiliki ayah dan papa. Keduanya adalah laki-laki.

"Aku punya papa"

"Aku juga punya papa. Tapi aku juga punya mama. Kenapa kamu tidak punya?"

Tanna mendelik kesal, melempar asal pensil warnanya ke tengah meja. Hari ini meja dibuat melingkar, masing-masing diisi oleh empat orang, dan mereka ditugaskan mewarna dua gambar yang merupakan sosok orang tua. "Memangnya kenapa kalo tidak punya?"

"Aneh" kalimat itu mengingatkan Tanna pada ucapan kakak Areum kemarin sore. "Seharunya kamu punya ibu, kita semua disini punya. Tapi kamu malah punya dua orang ayah?"

"Itu tidak aneh" ia menyanggah cepat, menatap satu persatu wajah dari teman sekelasnya yang menatapnya dengan bingung. "Aku punya ayah dan papa. Ayah bilang papa juga seperti seorang ibu"

"Tapi papa mu itu laki-laki"

"Memangnya kenapa kalo laki-laki?"

"Biasanya laki-laki yang menikah dengan laki-laki kan tidak punya anak"

Lalu semuanya terjadi dalam satu kedipan mata, Tanna tiba-tiba berlari cepat memutari meja dan menarik rambut si anak perempuan yang tadi duduk berhadapan dengannya. Kelas menjadi riuh, sebagian orang berlari menjauh dan memekik kaget, beberapa orang lainnya berusaha memisahkan tapi tetap sia-sia. Pertengkaran baru berakhir saat Miss Shea yang tadi ijin ke toilet datang dan segera memisahkan mereka kemudian membawa keduanya ke ruang konseling untuk diberi hukuman dengan cara memanggil orang tua masing-masing.




Love,
Ad💜

Pasusu 2 √ tk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang