Pasusu 2
Javas—— Kiel tak yakin kapan pertama kali ia mendengar namanya disebutkan, barangkali saat kakak Tanna bercerita bahwa ada anak lelaki nakal di kelasnya yang suka menjahilinya, atau dari gosip-gosip tak mengenakan tentang Javas yang tersebar luas di sekitarnya. Yang pasti, semuanya bukanlah hal yang baik. Katanya Javas itu nakal, suka berbuat jahat dan bertindak seenaknya; anak-anak tingkat akhir memang seringkali bertindak begitu karena memiliki kekuasaan dengan gelar senior. Diam-diam Kiel memendam ketidak sukaannya meski hanya mendengarnya dari mulut ke mulut, tetapi, siapa yang mengira jika Kiel akan bertemu dengannya setelah nyaris tiga bulan bersekolah disana, pada minggu-minggu pertama mendekati Penilaian Tengah Semester, setelah lama hanya mengetahui sosoknya dari jauh, tak bertemu muka apalagi bersua sapa.
“Hai adik kecil, sini, sini” bahunya dirangkul, digiring mendekati salah satu sisi sekolah yang terkenal sepi, Kiel menatap bengis, sudah dapat menebak adegan selanjutnya yang akan terjadi—— ada untungnya juga ayah memberitahunya tentang sebuah pembulian yang seringkali terjadi di sekolah, menimpa anak-anak yang dikira lemah, meski sejujurnya otak kecilnya tak mampu memproses semua kalimat ayah dengan baik, tapi setidaknya ia sudah mampu mengantisipasi apa yang harus dilakukan. “Kim Ethaniel, oh, adiknya Taera” ucapnya dengan nada yang terdengar antusias tatkala membaca label nama yang tertera di baju Kiel.
“Ada apa?” Kiel memiringkan kepalanya, menahan amarah yang meletup-letup dalam dirinya, lelaki di hadapannya membalas dengan tawanya yang tiba-tiba menggelegar, Kiel mengumpat dalam hati, seperti orang gila.- “Permisi kalau begitu” pamitnya hendak pergi, tetapi Javas tentu bergerak cepat menghalangi jalannya.
“Kecil-kecil sudah tidak sopan” cacinya begitu tawanya berhenti, “sini berikan uangmu” pintanya sembari menengadahkan tangannya. Kiel mengerutkan keningnya, orang-orang yang seperti ini ternyata sungguhan ada, dunia memang membutuhkan superhero nyata untuk membasmi hama menyebalkan seperti Javas. “Mana?”
“Tidak punya” Javas berdecak kesal, kesabarannya seperti sedang diuji, ia lalu membungkukkan setengah tubuhnya, mengulurkan tangan untuk meraba ke area saku si adik tingkat, tetapi belum sempat melakukannya Kiel bergerak menghindar, berteriak kencang hingga membuatnya terkejut, “MISS ANNA” refleks Javas menegang, lantas menoleh ke belakang punggungnya, mencoba menemukan sosok yang barusan di panggil Kiel. Namun nihil, sial, Javas dibodohi. Baru saja hendak berbalik lagi, Kiel sudah berlari menjauh, menjulurkan lidahnya sembari berteriak, “lihat besok” Javas berusaha mengejar, tetapi anak itu berlari lebih cepat, menuju kerumunan dan masuk ke ruang guru.
Ia menggeram, mengepalkan tangannya, emosinya meningkat. Besoknya ia mendapati dirinya di ruang konseling, diceramahi panjang lebar sebab pengaduan yang diajukan Kiel dan teman-temannya disertai bukti perudungan yang entah di dapat dari mana, tetapi ia berakhir dalam pengawasan penuh pihak sekolah dalam waktu seminggu, tak punya waktu untuk membalas Kiel apalagi berbuat onar lainnya.
Sejak hari itu, selepas berminggu-minggu yang lalu, setelah Kiel melaporkan Javas ke pihak sekolah, ia tidak mendapati kakak kelasnya itu membalaskan dendamnya, awalnya ia merasa curiga tapi lama kelamaan menjadi lupa dan tak begitu peduli, dipikirnya Javas menyerah dan berakhir tak ingin lagi berurusan dengannya. Semua berhasil diatasi berkat alat perekam suara berukuran mini yang canggih milik papi Yo, lelaki itu memberikannya sebagai hadiah rahasia di ulang tahunnya yang ke tujuh beberapa bulan yang lalu. Namun, dugaannya ternyata salah besar, Javas bukannya tak melampiaskan kemarahannya, ia justru sedang membalaskan dendamnya, hanya saja targetnya bukan lagi Kiel.
“Dia yang melakukannya?"
“Kiel”
“Sudah berapa lama?” Kiel bertanya cepat, tak mempedulikan suara si lawan bicara yang mulai memberat. “Javas itu jahat, dia harus segera dilaporkan”
“Tidak, jangan”
“Abang” katanya dengan nada yang sedikit dikeraskan, suaranya terdengar menggema ke seluruh penjuru toilet, beruntungnya sekolah sudah sepi, sebab jam pulang sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu, tadi miss Tantri mengabari jika papi Seokjin yang menjemput sedikit terlambat pun kakak Tanna belum keluar kelas karena ada jam tambahan. “Ayah harus tahu”
“Tidak perlu melibatkan orang tua, nanti mereka khawatir”
Kiel menggelengkan kepalanya tidak terima, melayangkan sebuah protes, “papa bilang kalau terjadi sesuatu di sekolah harus bilang, tidak boleh seperti ini” tetapi si lawan bicara malah menggelengkan kepalanya juga, menatap serius, sorot matanya berpendar tajam, persis sekali dengan milik Kiel. “Ini salah, abang”
“Adik, tidak perlu ada yang tahu. Jangan bilang pada siapapun”
“Kenapa? Dia bilang apa, abang?”
Karel terlihat menghembuskan napas panjang, mengalihkan tatap dan kembali sibuk membersihkan seragam sekolahnya yang terkena tumpahan jus, dilakukan secara sengaja oleh Javas sebelum pulang tadi, lelaki itu membolos kelas, mengambil kesempatan untuk melakukan perundungan seperti hari-hari sebelumnya pada Karel. “Adik sudah pernah melaporkannya tapi tidak ada yang berubah bukan?” tanyanya sesaat kemudian setelah mengambil jeda cukup lama dan membiarkan hening mendominasi. “Lagipula tidak ada bukti, keadaan bisa berubah nantinya, kita yang korban bisa menjadi pelaku. Kak Javas sudah besar, omongannya akan lebih dipercaya, seburuk apapun orang menilainya, tapi kalau yang memberi kesaksian tanpa bukti dan hanya bersumber dari anak berusia tujuh tahun seperti kita, kira-kira orang akan beranggapan apa?”
Kiel terdiam, ia bungkam, tak lagi punya argumen untuk menjawab. Faktanya Karel benar, orang dewasa cenderung membutuhkan bukti, ucapan anak-anak seperti mereka hanya akan dianggap sepele, lalu masalah ini hanya akan berakhir menjadi suatu hal biasa yang sering terjadi dilingkungan sekolah bernamakan bermain-main. Beruntungnya dulu Kiel memiliki bukti serta dukungan dari teman-teman sekelasnya yang pernah mengalami hal serupa, tapi sekarang? Hanya mereka berdua, tanpa bukti, tanpa dukungan. Itupun, Javas hanya menerima hukuman sesederhana diawasi secara penuh hanya selama seminggu, selebihnya tidak ditindak lanjuti. “Ayah pasti punya solusi, kita harus ceritakan masalahnya”
“Kiel, akhir-akhir ini ayah pulang larut karena banyak bekerja, kita bahkan hanya sempat menghabiskan waktu dua kali dalam sebulan untuk bermain bersama ayah. Ayah sibuk, semua orang sibuk. Sedangkan, papa tidak boleh tahu, nanti papa sedih dan khawatir” sahut Karel cepat. Kiel lagi-lagi menyetujui, sedikitnya ia merasa sepi sebab ayah akhir-akhir ini jarang ada di rumah, kendati begitu, pria itu selalu menyempatkan waktu untuk bertemu dan berbicara dengan mereka setiap harinya, seharusnya itu bisa dijadikan peluang untuk bercerita, hanya saja, mengingat lelahnya ayah, Kiel jadi ikut menyetujui untuk tidak menambahi kesibukannya. “Tidak apa-apa. Kak Javas akan segera berhenti kalo bosan. Kakak Tanna harus lulus dengan tenang. Dan adik nggak perlu khawatir karena dia nggak akan ganggu adik lagi” Lanjutnya menenangkan, tetapi Kiel tetap merasa ada yang janggal, apalagi kalimat terakhir Karel terdengar mencurigakan, lelaki kecil itu barangkali sedang menyembunyikan sesuatu.
“Ayo, kita tunggu papi Seokjin di depan”
Kiel mengangguk, berjalan mengikuti di belakang, tangannya bergerak mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, “abang” panggilnya tiba-tiba, “simpan ini untuk adik ya?” ujarnya menyerahkan benda hitam kecil yang membuat Karel mengerutkan keningnya heran, ia sering melihat benda itu dibawa-bawa oleh Kiel, tetapi tak bermaksud menanyakannya sebab Kiel juga sepertinya tidak ingin menceritakannya.
“Apa ini?”
Kiel mengangkat bahunya, “benda itu harus ada di saku celana seragam abang, kapanpun aku bertanya, abang harus memberikannya” begitu katanya yang mana membuat Karel bertambah bingung, tapi lagi-lagi ia hanya menuruti keinginan adiknya, toh Kiel memang sudah sering meminta sesuatu yang aneh seperti ini.
Love,
Ad💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasusu 2 √ tk.
FanficIni kelanjutan warna-warni dari kehidupan si Pasusu, diramaikan oleh si manis kloningan cilik mereka yang bernama Kim Taera. Akankah mereka merasa cukup hanya dengan bertiga? Ataukah yang dulu merasa utuh malah menjadi jenuh kemudian runtuh? Masih...