Instagram : aksaralatte
🌷🌷🌷
Gerimis tipis masih menerpa. Tapi gerimis itu nyatanya tak menghentikan langkah Shaga dan Lava. Keduanya berdiri di pelataran Rimbawa. Kali pertama Lava menikmati secangkir kopi di Rimbawa, sama halnya dengan aroma mawar dan pelukan Shaga, Lava nyaman dan seakan menemukan candu baru. Rimbawa.
Shaga menggenggam erat tangan Lava. Bola matanya menatap gerimis lembut yang disorot jingga di ufuk barat. Bahkan jamur-jamur raksasa di pelataran pun sedikit terlihat jingga, sebab jejak air di permukaannya masih menempel jelas.
Aroma Rimbawa ternyata tak kalah harum dengan aroma-aroma pecandunya. Kental akan harum moka dan caramel, sehingga manis yang perlahan-lahan mengendap pada rongga pernafasan ternyata memberi efek kebahagiaan tersendiri bagi Lava.
Mungkin akan seperti ini, sejauh apa pun kakinya melangkah, harum itu akan terus Lava ingat. Mengingat nama Rimbawa saja Lava bisa mengecap manisnya lagi. Sama halnya Shaga, hanya dengan mengingat Shaga saja Lava bisa merasakan pelukan dan genggaman eratnya. Meskipun Lava tak akan pernah merasakan cukup, dia tetap mau bersama Shaga, bukan hanya merasakan hadirnya lewat nama di kepala atau keharuman yang datang.
Semakin jauh langkah mereka, semakin lenyap juga keharuman candu Rimbawa. Setapak panjang itu gini segaris lurus dengan senja, gerimisnya telah lenyap. Yang tersisa hanyalah jejak-jejak air segar, bangku-bangku panjang di sepanjang jalan setapak pun sepi sebab basah yang mendominasi. Bau besi berkarat dan suara kereta api meramaikan sepi sore itu. Sepertinya memang benar, apa pun yang dilakukan bersama orang yang kita cintai, rasanya selalu manis. Bahkan bau besi berkarat dan bisingnya kereta api yang melintas seketika menjadi menyenangkan. Bukan seperti melodi lagu di Rimbawa, ini lebih seperti keramaian yang menghangatkan sesuatu di dalam rongga dada Lava.
"Ga, lo kok nggak pernah minta peluk?" tiba-tiba Lava menyeletuk.
"Lebih suka ciuman," jawab Shaga enteng, dimana ucapannya itu langsung disambung ringisan lara sebab Lava menyikut perut Shaga.
Seakan tak merasa bersalah, Lava berlari kecil dan menaiki bangku panjang. Dia berdiri di bangku itu seraya merentangkan tangannya kepada Shaga. "Sini, lo butuh pelukan. Lo pasti capek."
Shaga lantas tersenyum manis. Ada kehangatan yang kini menyiram dada Shaga. Lava, kenapa dia bisa semanis ini?
Maka dengan langkah pasti, Shaga mendekati Lava dan menerima pelukan gadis itu. Tentu saja dengan posisi gadis itu yang lebih tinggi darinya, bahkan Shaga merasakan kepala bagian belakangnya kini di usap lembut dan teratur oleh Lava. Kedua tangan Shaga melingkar di pinggang Lava, sesekali ia mengusap dengan kelembutan di sana.
"Lav kamu tau nggak, kenapa es krim rasanya macam-macam tapi nggak ada rasa cinta?" celetuk Shaga.
"Nggak usah mulai," ucap Lava.
"Soalnya cintanya udah di ambil kamu semua."
"Nah kan!" batin Lava, dimana kedua tangan Lava menyisir pelan surai Shaga. Mereka masih pada posisi yang sama.
"Aku lagi ngegombal kok kamu nggak seneng si?"
"Sumpah gombalan lo itu receh banget tau nggak?" ucap Lava dengan senyuman geli.
Shaga mendongak, "aku-kamu, coba."
"Hah?"
"Panggilnya aku-kamu, aku pengin denger."
"Aku."
"Bukan kayak gitu, sayaanggg. Kalimat yang lebih panjang coba," Shaga mencebikkan bibir lucu.
"Akuuuu-kamuuuu. Udah?" ledek Lava yang membuat Shaga mendengus.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH [Selesai]✓
Teen FictionLavanya Yozita harus mengalami hal aneh di hidupnya. Karena setelah kecelakaan malam itu, dunia Lava berubah 360°. Lava mulai menjalani kehidupan aneh dan penuh teka-teki. Mulai dari bertemu Shaga, si pemuda asing yang perlahan-lahan berhasil menga...