[7] Dunia Karangan?

1.2K 263 9
                                    

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN MEDIA SOSIAL HOTKOPILATTE :

INSTAGRAM : -aksaralatte_
                        -nadpilatte_

TIKTOK : hpilatte1

HAPPY READING!



Suara derap langkah kaki di sana nyatanya mengisi penuh koridor yang sepi. Lava berjalan cepat, menjauh dari apa yang seharusnya detik ini ia hindari-- Shaga. Keringat mengalir di sepanjang pelipisnya, dada Lava pun bergemuruh hebat. Hingga di persimpangan koridor, Lava sengaja menepi, menutupi tubuhnya dengan tembok. Lava bersandar lemas, nafasnya tak beraturan dan tanpa sadar, tangannya merayapi dadanya sendiri. Mencari detak kehidupan yang ternyata tengah berdetak lebih cepat dari biasanya.

Perlahan, Lava menarik nafas panjang. Mencoba mengatur diri dan mengambil kontrol terhadap situasi saat ini. Situasi yang Lava sendiri saja dibuat bingung olehnya. Sebab semua ini, semakin tidak masuk akal.

Sampai akhirnya, Lava lebih tenang, dimana kemudian ia gunakan untuk memutar otak mungilnya. Merangkai segala hal yang menimpanya, hal-hal mustahil dan tak masuk akal. Dan kepada hari yang terasa sangat suram, Lava menemukan sebuah ide gila.

Ide yang sangat gila.

***

Semua tentang ketenangan. Angin yang berembus dalam senyap, deburan ombak yang melaju tertata, lalu awan mendung yang mendamaikan gemuruh tersembunyi di dalam kecemasan. Mungkin semua itu disebut sebagai tenang yang tak pernah menghakimi keterpurukan. Sebab, ada hal-hal yang memang perlu dilepaskan melalui mata dan telinga. Diam. Memandang segala damai yang semesta sajikan. Mendengarkan dawai indah dari alam. Kemudian, bermonolog di dalam isi kepala yang nyaris menyesatkan. Tak perlu berteriak dan berbicara panjang lebar. Takutnya, tenaga yang akan habis mengering, lalu jiwa semakin ditikam perih yang terus menjalar- menewaskan kewarasan. Karena lagi-lagi, kunci bangkit dari tumbang dan segala patah adalah diri sendiri.

"Yakin banget aku bakalan datang ke sini?"

Suara itu nyatanya terdengar sangat jelas di tengah maraknya isi kepala. Di ujung pemecah ombak, Lava berdiri dengan kedua kaki yang tegak. Seakan-akan itu adalah bukti kesombongannya, bahwa ancaman yang ia kirim lewat pesan kepada Shaga tidak main-main. Dia mau jawaban itu, sekarang juga. Jika tidak, Lava akan menjatuhkan diri di lautan.

"Buktinya lo ke sini," jawab Lava.

"Hm, aku mau liat kamu bisa mati apa enggak kalo jatuhin diri ke laut." Ucapan itu kontan membuat Lava memandang Shaga dengan tatapan heran. Bagaimana bisa di sesantai itu? Bukankah kemarin dia mengatakan bahwa dia menyukai...

Melihat Lava yang diam, Shaga pun tersenyum miring. "Kenapa? Takut?"

"Kemarin-kemarin kamu bilang, hidupmu aneh. Berantakan. Banyak hal-hal gila yang masih belum bisa ditafsirkan. Terus, kenapa sekarang kamu seyakin itu buat mengakhiri hidup? Yakin setelah ini hidupmu akan berakhir gitu aja?" ucap Shaga dengan mimik yang masih santai.

"Kamu berani mengakhiri hidupmu, terus kenapa kamu nggak menggunakan keberanian itu untuk melanjutkan hidup?"

Lava merotasikan bola matanya. Kembali dengan alasan utama, Lava melakukan ini hanya untuk ancaman semata. Tapi reaksi Shaga tidak sesuai ekspektasinya, maka sebab itu, Lava justru merasa tertantang.

Lava, tidak pernah takut mati.

"Kenapa? Kenapa diem? Lakuin apa yang pengin kamu lakuin sekarang." Lagi-lagi, Shaga membuat keadaan semakin panas. Atau lebih tepatnya, Lava yang semakin merasakan panas, emosinya perlahan merayap, membakar habis sesuatu di dalam sana.

Shaga menaikkan sebelah alisnya, "aku bilang, lakuin apa yang pengin kamu lakuin sekarang."

Lantas, senyuman tiba-tiba menghiasi suasana yang keruh. Seakan air laut yang menggusur pasir belum seberapa dari keruhnya keadaaan yang mendekap keduanya.

"Lagi-lagi gue nemuin hal yang nggak masuk akal, Ga. Bener-bener nggak masuk akal." Suara Lava mengisi keruh yang nyatanya kian mengalir sempurna. Menghambat oksigen untuk keduanya hirup, rasanya seperti itu.

"Karena itu kamu mau mati?" frontal Shaga.

"Jauh sebelum gue nemuin kehidupan yang sekarang, gue selalu pengin mati. Gue mau berhenti." Lava berucap tenang. Seakan-akan, ucapannya bukanlah hal yang serius.

"Dan sekarang?" tanya Shaga.

"Masih." Lava menjawab tanpa beban, "tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gue harus mastiin sesuatu sebelum gue bener-bener mati."

Maka dengan begitu saja, Shaga memandang Lava lebih serius. Atau bisa dibilang, tatapan Shaga lebih tegas dari sebelumnya. Sampai pada akhirnya, tatapan itu seakan mencair. Redup seketika. Bak matahari yang mendadak terbenam awan dengan berbekalkan air hujan. Semua itu ada, sebab kalimat Lava yang tiba-tiba menjelma air hujan itu mengudara.

"Boleh gue peluk lo?"

Langkah kaki itu nyatanya tak mampu direkam dengan gerak lamban dalam memori Shaga. Sebab, tubuh gadis diujung sana, kini telah mendekap erat tubuh Shaga. Membawa panas yang kian menjalar di setiap inci tubuh Shaga. Masih sama. Diam menjadi respon reflek yang otak Shaga komando kepada saraf-sarafnya. Seakan mereka berhenti bekerja untuk beberapa detik.

Apakah kalian pernah mendengar sebuah kalimat, bahwa seorang penulis mampu menghidupkan dunia melalui pena-nya? Kemudian seorang musisi yang mampu menghidupkan dunia lewat suaranya? Mereka menuntun dunia yang masih abu itu untuk menemui warna semestinya. Walau naas, semua itu sebatas karangan semata. Jalan yang dikarang. Tapi setidaknya, ada cacat yang tercipta menjadi kesempurnaan di dalam dunia yang mereka miliki. Ya, jalan cerita yang cacat itu, tersusun kembali ke dalam kastil yang bernama sempurna. Dunia yang kurang sempurna, disempurnakan sendiri.

Tapi, detik ini Shaga menemukan satu hal untuk menghidupkan dunianya. Bukan. Bukan menjadi seorang penulis ataupun musisi. Shaga hanya ingin menggunakan memorinya. Mengabadikan momen ini. Menciptakan dunianya lewat dekapan hangat yang mengiringi surya di ufuk barat. Sebab, cacat yang Shaga simpan rapat-rapat, nyatanya terobati oleh hangatnya peluk dari Lava. Entahlah. Shaga mengesampingkan niat terselubung dari Lava. Menciptakan sendiri karangan di otaknya. Meracuni memorinya, bahwa semua ini hanyalah perihal ketulusan. Dekapan, debar jantung dan hangat yang menyelimutinya. Semua tulus.

Di dalam isi kepala Shaga, hanya tertulis tulus.

Bukankah ini indah? Shaga dan dunianya.

Dunia karangannya.

***

To be continue

Update tipis-tipis ya ges ya🤣 jangan lupa kalo kalian suka bab ini, silakan vote dan komen!🤍

Kayak yang aku bilang di atas, tipis-tipis dulu. Jadi, udahan dulu, besok-besok kita ketemu lagi wkwk.

See you🤍

•Senin, 04 April 2022•

OH IYA! SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN BAGI YANG MENJALANKAN🤍✨

EPOCH [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang