[8] Merah

1K 203 4
                                    

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN MEDIA SOSIAL HOTKOPILATTE :

INSTAGRAM : -aksaralatte_
                        -nadpilatte_

TIKTOK : hotkopilatte

HAPPY READING!

Hujan deras menghantam sang malam. Seakan merundung ranting-ranting kering-- berjatuhan sebab tak kuasa menahan serangan ribuan air. Ranting yang nyatanya sudah rapuh dan tak berdaya, tidak ada lagi harap untuk ia bertahan di sana. Jatuh, lalu melebur bersama tanah di bawahnya secara perlahan-lahan. Begitu pun dengan dedaunan kemuning, turut larut bersama genangan air. Terseret jauh entah kemana.

Terkadang, kehidupan memang seperti itu.

Kau lengah, kau bisa kalah.

Dari balik jendela, Lava duduk seraya memeluk erat lututnya. Menatap linangan yang semakin membabi buta, serta bisingnya air dan tanah yang bertepuk meriah, merayakan malam yang gelap gulita. Hingga tiba-tiba, dua sorot lampu seakan membelah air-air suci di sana. Mobil itu, melaju perlahan sebelum akhirnya berhenti di pelataran. Lava tau itu siapa. Arkan. Kekasih--, maksudnya. Mantan.

Seperti perkiraan Lava, ponselnya pasti berdering. Benar saja, dia berdering, berseru lantang seraya memampangkan sebuah username yang nyatanya belum Lava ganti. Masih sama, dengan dibumbui emoji yang menggambarkan sebuah bahagia.

Lava tak mengangkatnya. Dia lebih memilih bangkit dan menghampiri keluar. Lava enggan membuang waktu.

Dengan menggenggam payung, Lava menghampiri Arkan. Dimana ia dapat melihat, Arkan yang menyambutnya dengan binar wajah merekah, bahagia luar biasa. Setelah itu, Arkan memberi isyarat agar Lava masuk ke dalam mobilnya. Lava pun menuruti titah Arkan.

"Hai, aku kangen banget sama kamu." Adalah kalimat pertama yang Arkan berikan.

Tangan Arkan mengudara, hendak membelai pipi Lava, namun dengan segera Lava tepis. "Nggak usah sentuh gue."

Arkan memandang tangannya sesaat, kemudian ia tersenyum lembut. "Oke. Aku nggak akan sentuh kamu. Tapi biarin aku ngomong sama kamu dan dengerin aku."

"Lav, aku masih nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba kayak gini. Nggak ada angin nggak ada badai, kenapa kamu tiba-tiba ngejauh dari aku? Aku ngelakuin kesalahan sama kamu? Kalo ada, kasih tau aku. Aku masih nggak tau letak salah aku dimana sampai buat kamu kayak gini." Arkan berucap lembut, sangat lembut.

Hangat itu musnah. Entah sejak kapan, namun Arkan baru menyadarinya. Bahwa hangat yang biasa gadis itu pancarkan lewat kedua bola matanya, musnah. Tidak ada pelukan tak kasat mata yang selalu Arkan rasakan tiap kali bersanding dengan gadisnya.

Gadisnya?

"Arkan, masih dengan hormat yang sama. Gue minta kita selesaiin hubungan ini. Tanpa ada yang menahan satu sama lain. Gue sebenarnya bingung, gue harus jelasin ini darimana." Lava terdiam, menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya, "karena gue yakin, lo nggak akan percaya."

"Aku bakalan percaya. Apapun itu. Tapi tolong jelasin semuanya, Lav. Aku mohon," pinta Arkan dengan memelas.

Lava diam. Lava pun mulai ragu. Keraguan itu mendorong Lava diambang kegelisahan. Gadis tersebut semakin gelisah, bingung harus percaya kehidupan yang mana. Yang sekarang, atau kehidupan hancur kemarin.

"Lav?" Lava tersentak oleh suara Arkan.

"Kita bahas besok kalo waktunya udah tepat." Setelah mengatakan dengan tegas, Lava langsung membuka pintu mobil. Bergegas meninggalkan Arkan, dimana laki-laki tampak tak terima atas kalimat yang dilayangkan oleh Lava.

Maka, dengan begitu, Arkan turut keluar mobil. Membaur bersama basah dari hujan yang masih meronta-ronta di gelapnya malam. Tangannya mencegat jemari Lava, menahan gadis itu dan membalikkan tubuh Lava untuk menghadapnya.

"Sekarang Lav." Arkan berucap tegas.

"Lo budeg?" ucap Lava yang kehilangan kesabaran.

Lava hendak berbalik, namun dengan lebih kencang dari sebelumnya, Arkan menarik tangan Lava. Dimana tubuh gadis itu langsung terhuyung dan menabrak dada bidang milik Arkan. Keduanya diam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Lima detik.

Sampai keduanya pun mulai tersadar dari raga yang sempat mematung. Dan tiba-tiba saja, Arkan mendongakkan kepala Lava, saling menatap satu sama lain. Mencari sesuatu yang salah dari bola mata bening di sana. Dan tanpa meminta persetujuan dari Lava, Arkan mengecup manis bibir milik Lava. Tangannya memegang tengkuk Lava, memperdalam ciumannya-- seirama dengan kepalanya yang dimiringkan untuk mencari kenikmatan asmara yang telah asing. Sedangkan tangan yang lain, Arkan gunakan untuk memeluk pinggang Lava, merapatkan dengan tubuhnya. Hingga tidak ada jarak yang tersisa.

Bagian yang lebih gila. Adalah kenikmatan yang nyatanya membakar habis alam bawah sadar Lava. Dimana ia mulai mengikuti nafsu yang semakin membara. Ikut melumat, basah bersama hangat yang bertempur dengan dinginnya hujan dan angin malam. Kedua tangan Lava mengalungi leher Arkan. Mengikuti ketukan-ketukan irama menjijikan dari penyatuan bibir mereka. Panas, namun manis.

Jangan lupakan fakta, bahwa Lava memang gila dan berbahaya.

Lava, berbahaya.

Sedangkan iris mata yang teduh itu masih menyorot adegan panas di seberang sana. Tajam dan tegas.

Hujan, kecupan dan iris mata teduh. Kolaborasi malam yang menciptakan sebuah warna baru. Merah. Merah untuk panas dan amarah.

Lalu...

Merah, untuk jepit rambut di genggaman Shaga.

Merah, untuk jepit rambut di genggaman Shaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

To be continue...

Update tipis tipis ygy 😊🤍

Kalo kalian suka bab ini, jangan lupa vote dan komen...

Eh, masih suasana lebaran kan ya?

Minal aidzin wal faidzin yaa semuanyaa! Mohon maaf lahir dan batin🙏maaf kalo ada salah kata, salah sikap dan sering buat kalian nangis wkwkwk, nggak sengaja beneran🤣

Udah ya, see you!

Sabtu, 07 Mei 2022.

EPOCH [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang