JANGAN LUPA FOLLOW AKUN MEDIA SOSIAL HOTKOPILATTE :
INSTAGRAM : -aksaralatte_
-nadpilatte_TIKTOK : hpilatte1
•
•
•
HAPPY READING!
•
•
•
Teduh langit nampaknya menggiring dingin kepada luka yang tak kasat mata. Hati Lava. Entah mengapa di dalam sana terasa sangat perih. Lava pun tidak mengerti, kepada yang mana sakit itu dipersembahkan. Teramat sakit menikmati sakit yang lamat-lamat merenggut sisa kewarasannya, Lava tidak sadar bahwa sedari tadi Papa-nya memanggil-manggil namanya.
"Lava?"
Lava terkejut untuk sesaat, memandang Papa-nya yang tengah mengemudikan mobil. Oh iya, Lava bahkan lupa keganjilan di hidupnya masih terus berjalan. Contohnya sekarang, di tengah hujan deras yang mengguyur Ibu Kota, Lava menemukan Papanya sudah menunggunya di depan gerbang. Tidak, tidak di dalam mobil. Melainkan berdiri sembari memegang payung, menunggu Lava keluar. Sesaat Lava lupa bagaimana caranya mengeruk oksigen di semesta lepas ini. Karena sebelumnya, mau hujan badai bahkan sampai angin topan sekali pun, kedua orang tuanya tidak akan peduli. Mungkin jika Lava tidak pulang pun, mereka tidak akan tau. Dan tidak akan mencari tau. Cih, menyedihkan sekali kehidupannya yang dulu.
Dan tepat sekali. Membicarakan kehidupannya dulu, Lava jadi ragu, kehidupan yang sesungguhnya itu yang mana? Dunianya yang sekarang atau dulu? Tapi, benarkah ia tengah hidup di dunianya yang sekarang?
"Dunia kamu yang sekarang itu jawaban dari Tuhan. Dan kamu... akan selalu menemui aku di setiap perjalanannya."
Reflek Lava menggeleng-gelengkan kepala seraya menepuk-nepuknya. Berharap kalimat itu berhenti menghantui kewarasan yang mati-matian ia genggam. Tapi, mustahil. Kalimat itu sudah mendominasi sebagian isi kepalanya. Kalimat dari Shaga. Atau mungkin, Shaga yang kini mendominasi segalanya dalam diri Lava. Tidak, Lava tidak suka atau bahkan jatuh hati kepada pemuda aneh itu. Tidak mungkin! Hanya saja, Lava masih terus menerka. Kenapa Shaga? Kenapa ada Shaga di hidupnya sekarang? Untuk apa?
Sekeras apa pun Lava mencoba untuk mengingatnya, memori Shaga dikehidupannya yang dulu tetap tidak ia jumpai. Apa mungkin Lava lupa ingatan? Tapi, jikalau dirinya lupa ingatan, bukankah seharusnya Lava tidak mengenal teman-teman sekelasnya yang lain? Mama, Papa, Arkan dan segala penderitaannya. Seharusnya Lava juga melupakan semua itu kan?
"Lava, kamu kenapa sayang? Kamu sakit? Mau ke rumah sakit? Wajahmu pucet. Kita ke rumah sakit, ya?" kalimat itu meluncur bebas dari bibir sang papa. Dan Lava, dia berdecak tak suka untuk sebuah jawaban singkat.
"Berhenti pura-pura deh, Pah. Sekarang bilang aja, apa yang kalian mau dari Lava?" sarkas Lava.
Dan seperti sebelumnya, Papa langsung menatap heran kepada Lava. "Kamu mau sampai kapan si ngaco mulu ngomongnya? Harusnya kamu yang bilang ke Papa, semalam kamu mimpi apa sampai uring-uringan terus kayak gini?"
Lava malas menjawab. Dia sontak merotasikan matanya, memilih menatap ke luar mobil. Kebetulan lampu merah mengambil alih jalurnya, jadilah mereka harus berhenti untuk mempersilahkan si pengguna di jalur hijau. Saat tengah menghitung bulir hujan yang menetes di kaca mobil, Lava kembali dibuat terkejut sebab sebuah tangan tiba-tiba saja mengetuk kaca itu. Dan ya, lagi-lagi wajah yang sudah familiar baginya. Shaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH [Selesai]✓
Teen FictionLavanya Yozita harus mengalami hal aneh di hidupnya. Karena setelah kecelakaan malam itu, dunia Lava berubah 360°. Lava mulai menjalani kehidupan aneh dan penuh teka-teki. Mulai dari bertemu Shaga, si pemuda asing yang perlahan-lahan berhasil menga...