PART 7
QILAH PoV
"De, jalan yuk. Mau gak?"
Malam Minggu yang hampa tanpa kehadiran seseorang. Milah ada acara keluarga, jadilah gue sendirian. Kebetulan abang gue juga sendiri. Jadi terkadang untuk mengisi kekosongan hati dan waktu di malam Minggu, kami jalan berdua.
"Ayo aja. Mau kemana?"
Banyak orang yang menganggap, saat gue jalan sama abang, seperti tuan putri jalan sama gorila peliharaannya....
"Tempat nongkrong gue aja gimana?"
Gue menggeleng dengan tegas. "Ogah gue kesana. Temen lo kebanyakan perokok, jadi pengap. Lo mau gue mati gara-gara ngehirup asap rokok temen lo?"
"Trus lo mau kemana?" Tanya abang.
Gue melihat penampilannya yang sudah nampak lumayan. Kemeja biru muda dengan celana jeans hitam. Style si abang banget.
"Temenin gue nyari sepatu deh? Gimana?" Lanjutnya.
Gue mengangguk menyetujui. "Tunggu gue di mobil ya, bang. Gue siap-siap dulu."
Dengan balutan kaus pink lengan panjang dam celana jeans hitam, gue menghampiri abang yang menunggu di mobil.
Sebelumnya, gue menghampiri bunda dan ayah yang sedang berangkulan mesra di ruang keluarga sembari menonton tv.
"Bun, Yah, Qilah sama abang pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum!" Setelah mendapat persetujuan dari keduanya dan mencium tangan keduanya, gue langsung keluar rumah, memasang converse di kedua kaki gue yang indah menawan(?) dan menuju mobil tempat abang menunggu.
"Lama banget sih lo, de. Kayak bunda yang siap-siap mau kondangan," protes abang.
"Udah lah ayo jalan, bang. Keburu malam nih."
Dan abang pun melajukan mobilnya di tengah jalanan Jakarta yang lumayan padat akibat para pemuda dan pemudi baik jomblo ataupun taken pada keluar dari sarangnya.
♢♢♢♢
Esoknya pukul 7, gue masih asik bergelung ria dibalik selimut kuning cokelat tebal bergambar winnie the pooh sambil memegang perut. Dari tadi malam rasa panasnya tidak hilang.
Bunda juga sudah menjejali gue obat tradisional buatannya. Karena keluarga gue sekalinya sakit jarang minum obat dari dokter. Obat tradisional bunda selalu manjur.
"Qilah, gimana perut kamu?" Tanpa berbalik gue udah tau itu pasti abang yang masuk kamar gue sambil membawa nampan berisi makanan. Khas si abang setiap gue lagi sakit.
"Nih makan dulu."
"Gak mau, perut gue masih panas," tolak gue.
"Lo sih nakal. Kan udah gue bilang rujak buatan nyokapnya Rahman selalu eror pedesnya," protesnya.
Ukh, iya sih.....
Semalam memang kami pergi ke mall. Tapi saat mau pulang abang bertemu temannya yang bernama Rahman, lalu mereka bermain bersama dengan gue yang mengikuti mereka.
Abang ternyata menghentikan mobilnya di depan rumah Rahman lalu mengajak gue untuk mampir sebentar. Ibunya yang saat itu ternyata tengah hamil mengidam rujak.
Saat sedang asiknya merujak, si ibu hamil menawari gue untuk makan rujak bersama. Gue yang memang suka makanan pedas ikut serta makan rujak itu. Sebelumnya, abang sudah bilang sih kalau si ibu Rahman kalau ngerujak gak ngitung jumlah cabai.
Gue yang merasa perut mulai panas, tadi malam, langsung bertanya, "tante, masukin cabenya berapa biji?"
"Wah tante gak ngitung," katanya sambil mengelap keringat di dahinya dan lidah melet-melet kepedesan. "Kata orang dulu sih kalau ngerujak cabainya ganjil pedasnya muantep banget. Yaaa, kalau pedesnya segini sih mungkin aja 29 biji," lanjutnya santai.