IX. Failed Proof

24 1 0
                                        

"Ar, botol minum lo gue taruh sana!" teriak Sarah memberi tau Arletha sambil menunjuk sebuah bangku di pinggir lapangan.

"Thanks, Sar."

Arletha berlari ke arah bangku itu untuk mengambil botol minumnya.

Rasa dahaga mendominasi setelah ia menyelesaikan hukuman memutari lapangan sebanyak lima kali.

Hari ini Arletha terlambat menghadiri jam pelajaran olahraga di jam pertama akibat bangun kesiangan. Saat ia baru sampai di kelas, hampir semua penghuni kelas sudah menuju lapangan dengan seragam olahraganya. Hanya tersisa Sarah dan beberapa murid lain yang masih berada di kelas. Itu pun mereka juga hendak beranjak.

Arletha menitipkan botol minumnya pada Sarah sebelum bergegas menuju toilet untuk berganti pakaian. Secepat kilat ia berusaha menyelesaikan sesi ganti pakaiannya. Namun, saat sampai di lapangan, guru olahraga sudah berdiri di depan barisan. Alhasil, Arletha harus menerima hukuman karena keterlambatannya.

Dengan napas terengah-engah, gadis berkuncir kuda itu menegak minumannya sambil berdiri.

"Telat berangkat?"

Arletha berjengit kaget mendengar suara yang menyapa di sebelah telinga kirinya. Untung saja ia tidak tersedak akibat Daren yang datang tiba-tiba.

Lelaki itu meraih botol minuman miliknya. Memang hampir semua murid XII IPA 1 meletakkan botol minuman di bangku yang sama.

Arletha mengangguk sambil menutup botolnya. "Gue bangun kesiangan."

Dugh!

"Aws!"

Arletha memejamkan mata menahan rasa sakit yang menjalar di kepala. Sebuah bola basket baru saja menabrak kepala bagian samping kanannya.

Perlahan Arletha membuka kedua kelopak matanya saat merasakan usapan lembut di kepala dan sebuah tangan yang menyentuh rambutnya.

Tepat saat kedua mata itu terbuka sempurna, sepasang mata milik Daren tengah menatap lurus ke arahnya. Lelaki itu mengusap kepala Arletha. Tepat di bagian yang terkena lemparan bola.

Sejenak Arletha terdiam. Ia tenggelam dalam tatapan teduh sosok ketua kelasnya itu. Oh bagaimana caranya tidak jatuh hati jika terus seperti ini?

"Masih sakit?"

Pertanyaan Daren membuyarkan lamunannya.

"Ud-udah enggak," jawab Arletha.

"Lo beneran gapapa?" tanya Daren yang dijawab anggukan oleh Arletha.

Detik berikutnya dua orang itu tersadar akan hal yang sama. Serempak keduanya menoleh ke arah datangnya bola tadi.

Terlihat Arsen yang tadinya berdiri diam kini datang berlari menghampiri mereka.

Arletha tau betul orang seperti Arsen tidak akan datang hanya untuk meminta maaf.

Benar saja. Lelaki itu datang hanya untuk mengambil bola.

"Sorry, gue sengaja."

Ternyata Arsen melontarkan permintaan maaf. Meski bukan permintaan maaf yang diharapkan.

Lelaki itu tersenyum sebelum membalikkan badan untuk pergi. Senyum itu bukan senyuman ramah, melainkan senyuman yang sangat menyebalkan di mata Arletha.

Merasa terpancing, Arletha hendak mengejar Arsen. Tapi sebuah tangan menahan lengannya.

"Udah biarin aja."

Arletha hanya menghela napas pasrah. Daren benar. Jika ia memperpanjang masalah dengan Arsen, pembalasan dendam tidak akan menemukan ujungnya.

***

Top StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang