VIII. Enemy

22 1 0
                                    

Hidup tanpa musuh memang memberi ketenangan. Namun, bagi orang dengan kesabaran setipis tisu seperti Arletha, hidup tanpa musuh adalah hal yang mustahil. Tidak ada kata perdamaian dalam kamus orang-orang sepertinya. Sedikit saja ia merasa terganggu, maka emosinya akan segera terpancing dan terjadi keributan.

Usai menyelesaikan urusan buang air kecil, Arletha keluar dari bilik toilet dan berjalan ke arah washtafel. Butuh waktu dua menit untuk mencuci tangannya dengan sabun. Keadaan toilet yang sepi membuatnya leluasa untuk bercermin dan sesekali tersenyum menatap pantulan dirinya.

"Cantik juga gue," gumamnya. Kepercayaan diri Arletha memang patut diacungi jempol.

Brak!

"Siapa yang cantik?!"

Arletha berjengit mendapati pintu sebuah bilik toilet di belakangnya yang dibuka dengan kasar.

"Istrinya Tarzan! Lo ngagetin gue aja." Arletha mengelus dada sambil menatap Ara dari pantulan cermin.

Ara melotot dan berkacak pinggang. "Siapa istrinya Tarzan?!"

Arletha membalikkan badan ke arah Ara. "Lo nanya mulu kayak Dora."

"Lo tuh–"

Jari telunjuk Arletha buru-buru membungkam mulut cerewet itu. "Sstt! Gue lagi nggak mau ribut sama lo. Bye istrinya Tarzan."

Gadis itu berbalik dan melangkah meninggalkan Ara sambil melambaikan tangan.

Di sisi lain, Ara mengusap bibirnya yang disentuh jari Arletha. Berharap bibir cantiknya tak terkontaminasi bakteri dari tangan kotor itu. Ia menghentakkan kakinya kesal. Berada di dekat Arletha sangat memancing amarahnya.

Gadis itu tak kenal sopan santun. Spesies manusia seperti itu yang sangat Ara benci. Bagaimana tidak? Ara adalah seorang putri yang hidupnya sangat menjunjung tinggi sikap kesopanan, walau sebenarnya ia sama saja. Hanya sikapnya saja yang terlihat sopan, sedangkan mulutnya tidak mengenal sopan santun. Seringkali ucapannya menusuk dan menyinggung.

Langkah kaki jenjang itu nampak santai kembali menuju kantin. Jam istirahat yang belum berakhir membuat Arletha berpikir untuk kembali ke kantin. Lagipula Sarah dan Clara masih berada di sana.

Arletha menghentikan langkah setelah melewati persimpangan di koridor. Sepertinya sudut matanya menangkap sosok yang ia kenali.

Ia mundur beberapa langkah untuk memastikan. Kepalanya menoleh ke kanan tepat di persimpangan. Benar saja. Ada seseorang yang ia kenal berjalan menjauh dari tempatnya berdiri.

Arletha mengurungkan niat untuk kembali ke kantin. Lebih baik ia mengikuti orang itu. Siapa tau ia mendapat informasi.

Gadis itu memilih bersembunyi di balik tembok saat orang yang diikuti berhenti di halaman belakang sekolah. Kepalanya sedikit menyembul untuk memantau apa yang dilakukan Arsen.

"Ngapain dia di sini?" lirihnya bertanya entah pada siapa.

Kedua netranya sangat fokus mengamati gerak-gerik orang itu.

"Yaelah mau ngerokok ternyata."

Sedikit kecewa karena ia berharap menemukan penemuan besar. Namun ternyata yang ia dapati hanyalah fakta bahwa Arsen diam-diam merokok di halaman belakang sekolah.

"Bad boy banget sih," gumam Arletha setelah membalikkan badan dan menyandarkan punggungnya di balik tembok.

Arletha kembali teringat tujuan utamanya pindah ke SMA Ganesha. Pemikiran Arletha berkelana menerka-nerka kejadian yang mungkin terjadi di masa lalu.

Jika nametag Arsen berada di kamar Karina, bisa jadi lelaki itu pernah berkunjung ke kamar Karina bukan? Lalu kira-kira apa yang dilakukan seorang berandalan seperti Arsen di kamar Karina? Tidak mungkin dia berkunjung untuk belajar bersama. Sepertinya Arsen bukan tipe orang sebaik itu.

Top StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang