"Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun atau sekitar 26,1 persen pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual."
Nathan menoleh ke arah patner kelompoknya yang ada di sebelah kanan setelah menjelaskan satu paragraf materi presentasi.
Bima yang menjadi satu-satunya patner kelompok Nathan maju selangkah untuk melanjutkan penjelasan.
"Selain itu pada survei yang dilakukan Ditjen Diktiristek menyatakan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen di antara mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus."
"Seperti yang kita tau, banyak korban kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak melaporkan kejahatan yang dialami karena merasa malu. Seringkali mereka juga takut kejadian yang dianggap memalukan itu akan tersebar dan memengaruhi kondisi mental jika mereka melaporkannya."
Seorang guru yang duduk di kursi murid paling depan mengangkat satu tangannya. Pertanda Nathan dan Bima harus menghentikan penjelasan dan mendengarkan tanggapan atau pertanyaan yang akan dilontarkan oleh guru itu.
"Jadi menurut kalian apa solusi terbaik untuk masalah ini?" tanya pria berambut putih yang merupakan salah satu guru senior di SMA Ganesha bernama Pak Anthony.
Bima mengangkat tangan untuk menjawab. "Hendaknya para korban kekerasan dan pelecehan seksual melaporkan kejahatan yang mereka alami agar pelaku dapat diketahui dan ditindaklanjuti."
"Bagaimana mereka mau melapor kalau mereka malu dan takut?" Pak Anthony kembali menyambar dengan pertanyaan lain.
"Korban kekerasan seksual dilindungi oleh undang-undang." Kali ini Nathan yang menjawab. "Menurut UU Nomor 31 Tahun 2014, korban pelecehan seksual dirahasiakan identitasnya. Jika identitas korban sampai bocor, aparat dapat dituntut karena tidak mematuhi undang-undang."
Guru itu mengangguk-anggukkan kepala. "Bagaimana jika sudah melapor, tapi pelaku dibebaskan karena kurang bukti?"
Pertanyaan kali ini membuat semuanya terdiam. Mereka paham jika pelecehan seksual kadangkala terjadi di tempat yang sepi. Jika tidak ada saksi mata dan barang bukti, sulit bagi pelaku untuk dinyatakan bersalah. Pada akhirnya laporan korban hanya dianggap omong kosong belaka.
Pak Anthony memutar badan menatap para murid yang ada di belakangnya. "Rumit bukan? Itulah mengapa kasus pelecehan seksual terutama di Indonesia tidak akan ada habisnya."
Hampir semua murid di kelas itu menganggukkan kepala sebagai pengakuan bahwa kalimat itu benar adanya.
***
Dugh!
Suara pekikan terdengar saat pantat Arletha mencium lantai dingin koridor. Bukan tanpa alasan, seseorang baru saja menabrak bahunya membuat ia terjatuh.
Arletha mendongak menatap seorang laki-laki yang menatapnya dengan tatapan dingin.
"S-sorry."
Arletha yang meminta maaf. Bagaimana pun ini salahnya karena berjalan sambil fokus bermain ponsel.
Laki-laki itu melengos pergi tanpa mengatakan apa pun. Jangankan mengatakan sesuatu, berekspresi saja tidak. Hal itu membuat Arletha mendelik tak percaya.
"Udah gitu aja? Dia nggak mau minta maaf juga ke gue? Atau minimal ngangguk kek," omel Arletha sambil menatap punggung orang itu yang mulai menjauh.
"Woi, Ar! Ngapain lo di situ? Ngepel lantai?" Sarah yang baru datang tak bisa menahan tawanya melihat Arletha duduk di tengah lantai koridor.
Sontak Arletha berdiri dan membersihkan debu di belakang roknya. "Yakali gue ngepel lantai pake rok."
"Lagian lo ngapain duduk di situ kayak orang susah. Bangku di kelas juga banyak," canda Sarah.
"Namanya juga jatoh, Sar."
Sarah masih cekikikan mengingat posisi Arletha yang terlampau estetik di lantai.
"Clara mana?" Bukan Arletha yang bertanya, melainkan Sarah.
"Lah mana gue tau. Lo nggak liat daritadi gue lesehan sendiri di sini?" kesal Arletha.
"Loh dia nggak sama gue daritadi."
"Dia juga nggak sama gue."
"Udah di kelas kali ya?"
"Iya kali."
"Yaudah ayok balik kelas."
Arletha mengangguki ajakan Sarah kembali ke kelasnya. Namun, di perjalanan Arletha mengingat sesuatu. "Sar, lo kenal Jonathan Nelson?"
Sarah langsung menoleh ke Arletha. "Lo ketemu sama Nathan?"
"Nathan?"
"Iya Nathan. Dia peringkat satu IPS yang pernah gue bilang"
Arletha hanya ber-oh ria. Jadi laki-laki dingin tak beradab itu si peringkat satu peminatan IPS di angkatannya.
"Lo ketemu dia di mana, Ar?"
"Dia yang bikin gue kayak suster ngesot barusan. Gue sempat baca nametag dia."
Mendengar hal itu tawa Sarah kembali pecah. Memang receh sekali selera humor Sarah.
"Dia nabrak bahu gue sampe gue jatuh," lanjut Arletha.
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah. Lagian gue juga sibuk main hp sih, jadi nggak liat dia."
Sarah mengangguk-anggukkan kepala. Penjelasan Arletha sangat masuk akal.
"Tapi Sar, gue kan minta maaf ke dia karena merasa salah, eh dia malah pergi gitu aja. Gue kira bakal minta maaf balik atau ngangguk kek bilang iya kek. Mana gue nggak ditolongin." Arletha kembali kesal mengingat kejadian itu.
Sarah menepuk-nepuk lengan Arletha. "Sabar ya, Ar. Nathan emang gitu orangnya, lebih dingin dari es batu."
***
Plak!
Bukan sambutan yang Nathan dapatkan saat dirinya baru saja masuk ke dalam rumah, melainkan sebuah tamparan yang mendarat di sebelah pipinya.
"Sudah berapa kali ayah bilang, dekati anaknya Pak Hendri. Kenapa kamu masih terus mengabaikannya?!"
Nathan masih terdiam di posisinya, menikmati rasa nyeri yang menjalar di pipinya.
"Buat apa, Yah? Biar kerja sama perusahaan ayah dan perusahaan Pak Hendri dipermudah?"
Lelaki itu terkekeh kecil sebelum kembali berucap. "Selemah itu kah power ayah sampe harus manfaatin Nathan?"
Pria itu melotot merasa tak terima. "Jaga bicara kamu, Nathan!"
"Emang kenyataan kan? Tanpa aku, perusahaan ayah nggak akan pernah sukses."
Pria itu mengepalkan kedua tangan melihat Nathan yang tersenyum mengejek.
Tapi rupanya dia tak perlu main tangan lagi untuk mengalahkan sosok putranya. Ia tersenyum licik sebelum berucap. "Ya, kamu memang mempermudah perusahaan ayah menjadi sukses. Tapi kamu juga yang membuat bundamu pergi."
Senyum Nathan luntur seketika. Tubuhnya meremang. Rasa sakit kembali menyeruak di seluruh tubuhnya. Semua rasa sakit itu berasal dari satu titik, yaitu hatinya. Hatinya kembali merasakan sakit saat otaknya memutar memori tentang bundanya.
Sangat mudah untuk membuat Nathan terdiam. Pria yang merupakan ayah kandungnya itu tau betul apa kelamahan Nathan. Ia meninggalkan Nathan yang masih terdiam sibuk dengan pikirannya.
Perlahan kedua mata Nathan beralih menatap sebuah foto keluarga yang terpajang di dinding ruangan. Tiga orang yang tengah tersenyum bahagia di dalam foto itu. Namun, senyuman itu tak pernah ia temukan lagi dalam keluarganya setelah kepergian sang bunda.
"Nathan kangen bunda," gumam lelaki itu sebelum setetes air mata jatuh di pipinya.
"Maafin Nathan," lanjutnya lirih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Top Students
Novela JuvenilKepindahan Arletha Xaviera ke SMA Ganesha bukanlah tanpa tujuan. Gadis pecinta pelajaran Kimia itu berniat menyelidiki penyebab kematian bunuh diri sepupunya yang bernama Karina Frandella. Berkat barang bukti yang ditemukan di kamar Karina, ia menye...