XVII. Arsen dan Lukanya

17 2 0
                                    

Arletha menutup risleting tas ranselnya usai membereskan buku dan alat tulis sepulang sekolah. Baru sebelah tali tasnya menggantung di pundak, tangan Arletha sudah lebih dulu ditarik oleh Arsen.

"Eh mau kemana?" Arletha menghentikan langkah sejenak sambil membenarkan posisi tasnya.

Arsen hanya diam tak menjawab. Ia kembali menarik tangan gadisnya.

Arletha mencoba memberontak. "Jawab dulu!"

Arsen berdecak kesal. "Diem dan ikutin gue," perintahnya.

Melihat tatapan serius dari Arsen, Arletha seperti terbius. Bukan terpukau, melainkan sedikit takut. Ia memilih menurut saja.

"Lo yakin yang diceritain Arletha bener?" tanya Sarah pada Clara yang masih duduk di sampingnya.

Clara mengangkat bahu tak acuh. Sebenarnya Clara adalah tipe orang yang malas mencampuri urusan orang lain.

"Gue nggak percaya kalau mereka nggak ada perasaan apa-apa," ujar Sarah lagi.

***

Awalnya Arletha mengira Arsen akan mengantarnya pulang. Ternyata ia salah besar. Arsen tidak sebaik itu pada Arletha.

Rumah Sakit Jiwa Kasih Ibu.

Sebuah papan yang terletak beberapa meter dari tempat motor Arsen berhenti. Sebenarnya motor Arsen sudah terparkir di pekarangan rumah sakit jiwa itu.

Arletha masih bergeming di atas motor sambil menatap papan nama bangunan itu, bahkan ketika Arsen sudah turun dan melepas helmnya.

Arsen menatap Arletha yang justru diam seperti patung. "Turun!"

Seakan tersadar dari lamunan, Arletha menoleh ke arah Arsen.

"Lo beneran bawa gue ke RSJ?" tanyanya dengan suara lemah. Ia sudah tidak mengerti lagi dengan kelakuan Arsen kali ini. Sudah tidak ada energi baginya untuk marah-marah.

"Nggak mau masuk?" tanya Arsen yang tidak dijawab oleh Arletha.

"Yaudah gue masuk, lo di sini. Tapi jangan salahin gue kalau ada orang gila yang deketin lo. Biasanya mereka main di pekarangan kalo siang."

Arletha melebarkan matanya. Seketika Ia turun dari motor sport milik Arsen.

"Gue ikut masuk."

Arsen tersenyum puas. Ia pun melangkah memasuki pintu utama rumah sakit diikuti Arletha yang melangkah ragu di belakangnya.

Setelah melewati beberapa lorong, mereka sampai di depan sebuah pintu kamar. Seorang perawat membukakan pintu yang dikunci itu untuk mereka.

Saat pintu terbuka, terlihat seorang perempuan yang meringkuk di sudut ruangan. Perempuan itu mendadak panik saat melihat Arsen. Ia beringsut mundur, tetapi punggungnya sudah menabrak dinding sudut ruangan.

"J-jangan mendekat!" peringatnya sambil menunjuk Arsen.

"P-PERGI!" teriaknya sedikit terbata karena ketakutan.

Arsen tidak mempedulikan teriakan itu. Ia melangkah mendekat dengan tatapan sendu.

Perempuan itu semakin panik. Napasnya memburu. Tubuhnya semakin bergetar. Kedua pipinya sudah basah akibat air mata yang berderai. Mulutnya tak berhenti berteriak mengusir Arsen untuk menjauh.

Arsen meraih kedua tangan perempuan itu.

"Hei, ini abang," ucapnya dengan nada lembut.

Arletha sedikit ternganga mendengar suara Arsen. Sebelumnya Arsen tidak pernah berkata selembut itu kepada siapa pun.

Top StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang