XI. Boys' Problems

23 1 0
                                        

Langkah kaki jenjang gadis itu terhenti. Sepasang matanya menatap tak percaya seseorang yang berdiri sepuluh meter di depannya.

Arletha menghela napas berat. Niatnya ia ingin menghemat pengeluaran dengan cara pulang naik bus. Namun, ia mendapati Arsen tengah berdiri di halte bus depan sekolah. Sungguh pemandangan yang menyebalkan.

Lelaki itu menyandarkan punggung di tiang halte. Pandangannya lurus ke arah jalan raya. Dua jari tangannya mengapit sebatang rokok yang masih menyala. Satu tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Manusia itu lagi," keluh Arletha.

"Gue naik ojol aja kali ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Sejenak Arletha berdiam untuk berpikir.

"Jangan deh, naik bus aja. Arsen berdiri di ujung sini, lebih baik gue nunggu bus di ujung sana."

Berhubung Arsen berdiri di ujung halte sebelah kanan, Arletha berniat menunggu bus di ujung sebelah kiri. Meskipun keduanya berada di halte yang sama, setidaknya Arletha dan Arsen tidak boleh berdiri bersebelahan. Namun, ada tantangan di balik rencananya. Ia harus melewati Arsen. 

Tidak masalah, Arletha bisa berpura-pura tak melihat lelaki itu dan berjalan santai melewatinya.

Arletha mengangguk meyakinkan rencananya sebelum melangkah.

Sesuai rencananya ia berpura-pura tidak melihat Arsen. Pandangannya lurus ke depan tanpa menoleh ke kanan dan kiri sedikit pun.

Dugh!

Arletha melebarkan matanya saat sesuatu membuatnya kakinya tersandung. Ia terlalu fokus melihat ke depan hingga tak sadar ada sebuah batu di jalannya. Hampir saja tubuhnya terjerembab ke depan.

Sret!

Sebelum tubuh Arletha terjatuh, Arsen lebih dulu menarik pinggang gadis itu dengan satu tangannya. Tangan itu memutar tubuh Arletha sehingga gadis itu menghadap ke arah Arsen. Secara refleks Arletha pun berpegangan pada baju seragam Arsen agar tak terjatuh. Satu tangan Arsen lain masih mengapit sebatang rokok yang menyala di samping tubuhnya.

Pandangan keduanya beradu dalam diam. Arletha masih bertahan dalam keterkejutannya hingga Arsen meniupkan asap rokok ke arah wajah gadis itu.

"Uhuk! Uhuk!"

Arletha menegakkan kakinya dan mendorong Arsen untuk menjauh. Tangannya mengibaskan asap rokok yang menerpa wajahnya.

"Sialan!" desisnya sambil menatap nyalang Arsen.

Arsen hanya menggidikkan bahu tak peduli.

Arletha kembali melangkah ke ujung halte sesuai apa yang ia rencanakan.

Hanya ada dua orang di halte bus depan sekolah itu, Arsen dan Arletha yang sama-sama berdiri di ujung yang berbeda. Sekolah sudah sepi lantaran semua murid sudah pulang sejak tadi. Arsen dan Arletha memang pulang terlambat akibat hukuman dari Pak Seto.

"Kenapa lo liatin gue?"

Pertanyaan yang lolos dari mulut Arsen membuat Arletha sedikit gelagapan. Memang sejak tadi gadis itu mencuri-curi pandang ke arah Arsen.

Bukan bermaksud apa-apa, sebenarnya ia mau mengucapkan terima kasih karena lelaki itu telah menyelamatkannya dari tragedi mencium jalanan bersemen. Tapi Arletha terlalu gengsi untuk mengatakannya.

Arletha berdehem dan beralih menatap ke arah depan. "Gue kira orang cerdas kayak lo tau mana yang nggak baik buat diri lo."

Alih-alih mengucap terima kasih, Arletha justru mengungkapkan hal lain.

Top StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang