BAB 1

694 99 80
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.

     Sekonyong-konyong celoteh adiknya kembali mengejek di kepala, Usia Kakak sudah terlalu tua untuk disebut lugu. Yang Kakak tahu cuma nilai mahasiswa, ujian akhir, tugas persentase, kertas absen, Kakak tidak bosan? Aku sarankan supaya Kakak pacaran, cari kekasih, pria yang Kakak mau. Memangnya tidak iri sama teman-teman Kakak, atau sama aku? Mantanku ada sebelas Kak, Kakak setengah raga laki-laki juga belum ada.
   
     Hinata merenggangkan habis kunci pancuran air yang membasuh kepalanya, tak peduli bahkan andai kulit di bawah rambutnya menimbulkan benjolan. Terlampau pusing saat kilas balik beberapa tahun belakangan menggulung secara carut. Berapa banyak lagi hinaan yang patut dia terima sampai semua tuduhan atau anjuran sarkasme itu berhenti terdengar? Dia memilih berkeras hati dan kepala, tak seorangpun punya wewenang menggeser prinsip istimewa yang belasan tahun setia di genggamannya.

     Meminum alkohol, bergoyang-goyang di kelab malam, kencan, berciuman, SEKS SATU MALAM, ini pantang bagi Hinata sejak usianya beranjak lima belas tahun. Kendati di tahun-tahun itu, teman-temannya dengan bangga bertukar cerita bahwa telah menyerahkan keperawanannya kepada pacar masing-masing dan seingat Hinata, dia ada di sana sembari menampakkan raut aneh seakan jijik dan geli terhadap putaran cerita tak senonoh demikian. Apa enaknya di saat kau merasa terkoyak di dalam? Dia benar bukan? Sayang sekali semua melenceng dari dugaan Hinata, justru teman-temannya balik mengamati dia lewat ekspresi luar biasa kesal dan marah. Hari itu juga dia ditinggalkan, sendirian. Kau sakit ya?! Mulutmu begitu buruk, Hinata. Pergilah, kau tidak cocok berteman dengan kami.

      "Kalian yang tidak pantas jadi temanku."  Seperti dejavu, sebab dia tiada pernah benar-benar lantang menyuarakan ini, menelannya walau pahit dan asam. Dua rasa berlainan yang tidak pernah dia sukai.

     Lehernya ditekuk, mempermudah jemarinya mengumpulkan helai rambut dan memerasnya. Dia membalutkan handuk kecil supaya tetesan air di ujung rambut tak berjatuhan ke lantai, sementara bathrobe berwarna biru muda sedia membungkus tubuhnya.

     Dia pindah ke kamarnya sembari melepas penat di pernapasan. Hinata meraih tas tangan yang biasa dia bawa setiap kali mengajar, mengambil ponsel serta mengaktifkannya. Tetapi, di menit berikutnya dahi wanita ini berkerut. "Di mana dompet kartuku?" Monolognya bertanya-tanya. Dia tidak pernah meninggalkan benda itu, "Apa di lemari? Astaga, aku benar-benar lupa. Akan kulihat!" Tinggal seorang diri di apartemen membuat dia awam bersungut-sungut.

     Lipatan baju di angkat satu-persatu, di laci, di sudut belakang, jemarinya dengan gesit meneliti setiap sisi yang terpikir. "Ya Tuhan, aku dalam masalah besar jika dompet itu hilang." Terduduk gusar di atas tempat tidur, bertopang dagu di sebelah pahanya yang naik di atas kaki satunya, menggigiti kuku selagi dia menelaah perjalanannya di beberapa jam ke belakang, barangkali dia menjatuhkannya di suatu tempat.

      Sedikit tersentak oleh nyaringnya bunyi bel, dia bergegas menuju ke pintu depan, melalaikan kondisinya yang cuma mengenakan bathrobe dan handuk penyelimut rambut. Jelas bukan penampilan pantas untuk menyambut seorang tamu.

     Boom! Seakan ada hal yang menyebabkan dia kaget bukan main. Hinata tersentak, kelopak matanya mengerjap-ngerjap liar, kali kedua pula dia kesusahan menelan ludah. "A-apa maumu?" Embusan napasnya dibuang rendah, menepis gugup daripada dia kelihatan bodoh di hadapan orang asing ini. "Bukan salahku, harusnya kau menutup pintu dan menguncinya." Refleks punggungnya mundur ke belakang jangka si pria asing menaikkan sebelah alisnya tanda tak suka. "Jangan lakukan itu di luar, apartemen ini punya kamar yang cukup besar."  Si pria memberengut akibat mendengar pernyataan tersebut, sementara Hinata langsung memejamkan mata. Kenapa sungguh sulit menghadapi orang ini? Mencoba senormal mungkin dan yang berlangsung justru seperti mempermalukan diri. "Ah, dengar ya Tuan. Aku tidak datang ke pintumu untuk menguntit atau apapun yang kau perkirakan, semuanya terjadi begitu saja, kau tahu 'kan--" Tangan pun turut bergerak gelisah, terperanjat ketika pergelangannya dipegang si pria asing. "Aku..." Tak lama berselang, Hinata berteriak dalam hati bahwa dia ingin menyembunyikan muka sejauh-jauhnya dari orang ini.

Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang