Kesialan yang bagi sebagian orang tabu untuk diucapkan sebagai bentuk kemarahan terhadap apa saja yang tidak disukai, namun terjadi dan entah dengan cara apa Hinata melampiaskan perasaan tersebut sekarang. Tentu dia menahan diri agar tidak mengumpat, atau menyumpahi sosok kurang ajar itu.
"Bodoh, gila, SIA-LAN! Maafkan aku Tuhan, tolong! Orang-orang sia ... bukan, bukan, jangan seperti ini Hinata. Kau tidak boleh melakukannya. Ingat, kau adalah tenaga pendidik, etikamu penting di atas apapun. Lupakan tindakan asusila si makhluk-makhluk purbakala tadi, kau hanya perlu melupakan pakaian mereka yang sudah terlepas ke sana sini dan, ehm... suara-suara aneh menjijikkan dan apalagi di tengah-tengah, keluar masuk?! Sebentar--kenapa semua kejadian laknat itu berputar di kepalaku?!"
Dia cuma terkejut, kalian harus tahu itu. Keluar dari kelas mengajar, berjalan melewati lorong-lorong kelas lain untuk pulang. Barangkali nasibnya sedang buruk, dia menganggapnya begitu karena satu alasan akurat. Memangnya apa reaksimu ketika menemukan sepasang anak didikmu tengah memadu kasih di bawah tangga yang letaknya di ujung jalan, tanpa keraguan dan rasa takut? Ayolah, ini di kampus! Bagaimana jika ada yang melihat, contohnya dia?!
Begitu tiba di apartemen, keresahannya terbuang bersama napas yang panjang. Hinata memijit pelipisnya akibat pening menyerang, hendak membuka kunci dan segera mengistirahatkan kepalanya yang sudah benar-benar teracuni.
Tunggu, ini tidak mungkin! Lagi?! Hinata mengintip ke kiri, ke celah pintu yang sedikit terbuka. "Breng--SEEEK!"
"WHAT THE HELL YOU DOING? APA-APAAN KAU!!"
"Ah, aku-aku--" Hinata terjerembab ke depan, tanpa sengaja mendorong pintu sampai-sampai dia terjatuh di lantai. Susah payah saliva lolos dari tenggorokannya, dia melotot mengamati pria dan wanita di depannya dalam kondisi sama-sama setengah telanjang.
"KELUAR!"
"Ma--maaf!" Buru-buru Hinata bangkit, meninggalkan debaman kuat pada pintu yang dia tarik.
"Naru, siapa dia?!"
"Aku tidak kenal dia. Kau tahu sendiri 'kan, aku baru tiga hari di sini." Pria ini menahan pandangnya pada pintu. Ekspresinya jelas menunjukkan kekesalan, alisnya bertaut dengan kerut tajam di kening. "Kita hentikan saja, aku jadi malas."
"Baiklah, kita bisa lakukan nanti malam. Makan siang di luar dan jalan-jalan? Aku cuma punya waktu dua hari sebelum kembali ke LA. Astaga, aku pasti sangat merindukanmu nanti." Dia memeluk punggung pria di hadapannya erat-erat. "Kuharap kau tidak berlama-lama di tempat ini, Sayang. Cepatlah pulang supaya kita bisa bersama-sama lagi."
🌸🌸🌸🌸🌸
Hai, hai, hai!
Oke, begini... maafkan aku yang terkesan PHP karena menunda-nunda pengerjaan semua book2 yang ongoing.Ya, kalian sudah tau 'kan kalau aku juga menulis di PF lain.
Aku gak tau, apakah kalian tertarik dengan cerita ini. Jika iya, bakal dilanjutkan dengan chapter2 pendek. Tolong sampaikan pendapat kalian ya, dilanjut atau tidak?!
Aku harus menyelesaikan komisan yang menunggu. Tapi, ide ini terus melintas di kepala.
Doakan semoga bisa menulis dengan lancar lagi di sini.
Terima kasih... ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...