BAB 4

386 76 15
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.

Mungkin suatu hari yang dia sendiri pun tak yakin akan bayangan itu, tetapi tetap saja melintas sepintas di pikiran tentang apakah tindakannya untuk mengakrabkan diri dengan Hinata benar atau salah? Naru bukanlah tipikal yang terlalu peduli dengan orang lain, lebih memilih mengabaikan mereka atau siapa saja ketika tiada hal atau bentuk ikatan terjalin dengan dia.

Dia tertutup terhadap  perhatian basa basi terkecuali dapat mengambil keuntungan di baliknya. Dan apakah kelak ada benefit yang dia terima dari ini semua? Entah, dia enggan memperkirakan. Situasinya sedang tidak baik serta tak pula cocok dikatakan buruk. Naru hanya benci kesendiriannya di negara asing dalam kurun waktu cukup lama, merelakan satu-satunya wujud nyaman meninggalkan dia kembali ke kampung halaman. Bunga Sakuranya pergi terlebih dahulu, menantinya pulang dengan buncah bukan kepalang.

"Maaf, ah--apa kau keberatan jika kuundang makan siang?" Jeda yang diberikan Hinata amat singkat, hanya tiga kali punggung tangannya berbenturan dengan pintu dan wanita ini sudah menyapanya lewat tatapan heran. "Baiklah, sepertinya tidak pas ya." Hendak memutar badan jangka reaksi Hinata mendorong keraguannya lebih kuat.

"Makan siang?!" Buru-buru menyambung, melupakan rasa gugupnya yang datang secara kurang ajar. Dia terbiasa menghadapi banyak orang, mahasiswa, dosen-dosen bahkan petinggi kampus, Hinata tiada pernah mengalami kesulitan saat harus berhadapan dengan mereka. Kenapa dia merasa dirinya begitu payah sekarang?

"Pacarku mengirim banyak makan siang hari ini, aku tidak sanggup menghabiskan semuanya. Mau? Kau boleh menolaknya, aku tidak akan memaksa." 

Syukurnya kemampuan Hinata dalam berbahasa tidaklah jelek. Dia dosen di Studi Bahasa Inggris, tentu mudah baginya menjawab setiap ucapan si tetangga asing, "Of course." Seringai itu lagi, yang selalu menambah kecepatan genderang di rongga dada Hinata. Bagaimana bisa pria segagah ini punya senyuman kelewat manis?

"Terima kasih," katanya dini Hinata menarik pintu untuk beriringan masuk ke apartemennya pula. "Buatlah dirimu nyaman--kau suka yang dingin-dingin? Soda atau jus?"

"Apa saja, aku tidak mempermasalahkan itu." Teriakan rendah di dapur masih dapat didengar Hinata dari posisinya duduk, 'oke' dan kata tersebut mengantar sisa groginya terbuang bersama embusan rendah di pernapasan.

Diam-diam Hinata terlena dugaan di dalam akal, tidak menyangka bisa memulai hubungan baik dengan pria yang tempo hari berhasil menjatuhkan harga dirinya. Peristiwa memalukan dari memori  kumpulan aib di ingatan Hinata. Kecerobohan yang sangat-sangat tidak diinginkan, seolah tertangkap basah sedang mengintip keintiman dari sepasang kekasih. Bukan sepenuhnya salahku 'kan? Dia juga bilang begitu tadi pagi.

"Aku ambil jus jeruk untukmu. Kenapa belum di makan? Oh Tuhan, aku lupa piring dan sendoknya. Juga pisau, bagaimana kau memakan kuenya jika tidak dipotong?! Tunggu ya ..."

"Tidak!"

"Ya?!"

"Maksudku, biar aku yang ambil." Gelagat Hinata diamati lamat-lamat sampai menghadirkan kerut tajam di dahi Naru yang lapang, dua pundaknya naik sebelum mendudukkan diri di sofa tanda tak acuh.

"Kupikir pacarmu akan tinggal lebih lama, ya semacam kalian memutuskan untuk liburan bersama, mungkin."  Dasarnya, Hinata tidak kesulitan untuk beradaptasi, profesinya menuntut dia agar sigap dalam berkomunikasi dengan semua kalangan dari gender dan etnis manapun. Sedikit dia menahan pandang guna menanti tanggapan pria di seberangnya.

"Mauku juga begitu, tapi Sakura tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di sana."

"Sakura?!"

"Pacarku, namanya Sakura."

"Oh, nama yang bagus."

"Neneknya berasal dari sini dan nama itu adalah pemberiannya."

Hinata manggut-manggut sepanjang obrolan sekian, belum ada dari mereka yang memulakan menyentuh makanan. Pikirannya malah asyik berkelana, mencoba menelusuri wajah Sakura sedapat dia mengenali. Wanita itu tinggi, emerald  jernih ada di kelopak matanya juga pipi tirus dan visual kebarat-baratan. Tak lama dia hela napasnya agak berat, tidak heran dia sangat cantik, pujinya dalam hati. "Sini piringnya!" Tak tahu kapan kue itu dipotong oleh Naru, Hinata tersentak dan langsung menyerahkan piringnya.

"Selera pacarmu cukup bagus."  Binar turqoise memandang intens, "Kue ini rasa matcha, semua orang menyukainya."

"Aku tidak." Gantian mutiara kelabu terbelalak, seakan-akan pernyataan ini sungguh membimbangkan baginya.

"Kau serius?"

"Lidahku kurang menerima sensasi rasanya."

"Itu wajar, ini bukan rasa yang biasa kau cicipi."

"Bisa jadi--aku makan gorengan ini saja."

"Tempura, itu tempura."

"Oh, sepertinya enak." Sembari menyuapkan sepotong udang goreng keriting ke mulutnya. "Pakai nasi?!" Jangka dia membuka kotak lain dan menemukan nasi di sana."

"Apakah aneh?"

"Tidak juga, aku tahu negara-negara di asia selalu menambahkan nasi pada jadwal makan mereka."

"Kalau begitu ya coba. Buka lagi kotaknya, pasti ada tumisan sayur dan saus atau mungkin sup. Kau boleh memakannya sekaligus karena rasanya akan sangat lezat."  Naru mengangguk, benar-benar memeriksa satu-persatu tindihan kotak. Sementara, Hinata menetapkan pengamatannya di situ, mulai ujung rambut hingga ke bawah.

Tetangga asing, kali ini Hinata menyadari sebuah hal yang semula terabaikan, menawan. Mustahil mengungkapkannya dengan gamblang bukan? Dia enggan dicap sebagai wanita perayu, meski hendak sekali penghargaan demikian dia tuturkan bagi si pria tampan ini.

Punggung lebar, bisep proporsional, garis rahangnya tajam, hidung bangir yang runcing, irisnya sendu namun misterius, menyeret indra lain supaya tenggelam ke dalamnya, Turqoise memesona. Dia mencuri segala yang diidam-idamkan para lelaki selaku penampilan paripurna, tidak mengurangi eksistensi apapun kala dia hanya mengenakan selembar kaus singlet dan bokser, rambut pirangnya yang panjang digulung asal. Pernah Hinata risi terhadap pria berambut gondrong. Serta merta persepsi ini lenyap karena si tetangga asing, orangnya. Bagus, dia keren. Menyenangkan bisa mengabsen setiap keunggulan pada raganya, membuat Hinata terlena hingga tanpa sadar kue yang dia sendok sedikit demi sedikit pun habis.

"Kau boleh memakan semuanya, Hinata."

"Hah?!"

"Piringmu sudah kosong, mau tambah lagi?" Mendadak dan Hinata tak siap untuk kejutan ini, terasa lembut menyenangkan saat ibu jari Naru menyapu noda krim di bibirnya. "Jangan melotot! Aku hanya menawarkan kue."

"Ah, itu--tidak usah."

"Yakin? Kau kelihatan menikmatinya."  Nyaris salivanya tersangkut, efek dari detak liar di jantung. Berangsur-angsur dia membiarkan ini, sensasi kala tindak tanduk atau ekspresi Naru yang senantiasa menimbulkan euforia aneh pada kesadarannya. "Aku sudah selesai." Hinata menunduk untuk mendapati piring Naru yang licin. Dia bangkit sembari membawa piring itu ke belakang, tidak mengetahui apa-apa soal Hinata yang kini mematung.

"Ugh!" Meringis berikutnya, mengusap dahi nan malang dengan tangan kirinya.

"Kau tidak apa-apa?" Dadanya yang keras baru saja membentur kening Hinata, sampai-sampai kecemasannya refleks menangkup wajah bulat si tetangga, hanya agar dia merekam betapa manis dan menggemaskan wanita mungil di depannya ini. "Cute."

•• ༻❁༺ ••

Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang