Justru Tenten sama sekali tidak menunjukkan sehelaipun rambutnya sampai di akhir acara. Dia absen dan itu cukup mengherankan ketika di pesta-pesta sebelumnya dialah yang paling bersemangat untuk hadir. Agak ragu Hinata membenarkan prasangka yang melintas di benak, mengingat jika sahabat karibnya tengah berbadan dua. Namun, apa saja tentu dapat menjadi alasan penahan langkah.
Sebentuk sesal dirasakan Hinata, kenapa momen baik di reuni kali ini harus terlewatkan oleh sahabatnya. Dia sungguh ingin memperlihatkan, mungkin sedikit berkata sombong terhadap sebuah fakta dia tak lagi menjadi lahan sindiran oleh teman-teman lama. Kemunculan Demyanaru mematahkan berbagai susunan kata bermakna menyudutkan yang bisa jadi telah mereka persiapkan semula.
Pulang sembari mengangkat dagu, raut berseri-seri juga meningkatnya kepercayaan diri, Hinata menggandeng erat lengan si tetangga. Rencananya untuk membungkam mulut-mulut perundung sukses berjalan mulus.
"Waw, Hinata, kau menang lotre atau apa?! Wajahmu langsung berubah begitu. Senang sama pesta ini?"
"Lumayan, ucapanmu benar. Pestanya tidak membosankan seperti yang dulu-dulu. Konsep ini sangat cocok disematkan ke dalam pesta reuni, suasana kekeluargaannya lebih menonjol dan itu bikin nyaman."
"Baguslah, pesimismu dibayar manis berkat kehadiranku. Benar 'kan?"
"Haruskah kuakui di hadapanmu?!"
"Tidak, boleh disimpan jika kau malu mengatakannya."
"Hahaha, ya ampun bocah ini--" Kontan sepasang alis si tetangga bertaut, menegaskan bentuk penyanggahan.
"Siapa yang kau sebut bocah?"
"Jangan tersinggung ya, bukan mengarah ke anak kecil sungguhan. Tapi, kau memang lebih muda dariku 'kan?"
"Hei, fakta seperti itu tidak bisa membebaskanmu untuk semena-mena kepada kaum pria. Aku tetap sosok lelaki berharga diri tinggi. Dianggap kekanakan cuma karena perbedaan usia, sangat menyinggung. Pacarku juga lebih tua usianya dan dia tidak menganggap bagian itu sebagai lelucon." Hinata pula yang berubah air mukanya. Tidak karena pernyataan sekian, dalam hati dia terketuk jangka Demyanaru melibatkan kedudukan gadis yang masih menjadi kekasihnya. Sekonyong-konyong timbul perasaan sungkan, apakah curang karena pergi diam-diam dengan pria yang jelas sekali bukan miliknya? Tanpa ketegasan pula Hinata dapat memahami, dia kontan menepis asumsi. "Jangan melamun di saat orang lain sedang bicara denganmu," celetukan pemusnah renungan seiring hela napasnya berembus ringan.
"Iya, maafkan aku."
"Bukan itu yang mau kudengar." Turut dia mengerang ringan, lalu berkata lagi, "Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Shikamaru mengajakku turun ke arena malam ini, kau mau naik taksi atau tetap bersamaku? Tapi ya risikonya bakal kemalaman sampai di apartemen."
"Sekarang?"
"Iya, dari sini langsung ke lokasi."
Sejemang Hinata kelihatan berpikir. Berhari-hari berdekatan dengan si tetangga membuat dia terbiasa bersama pria itu. Waktu-waktunya yang dahulu membosankan berganti dipenuhi kegembiraan, "Aku ikut, tapi tidak masalah 'kan?"
"Tentu saja, mana ada orang yang mau repot mengurusi siapa-siapa penonton di situ. Ayo, Shikamaru sudah menunggu." Hinata berdebar, dini jemarinya masuk ke dalam genggaman Demyanaru. Mutiara kelabu miliknya turut pula mengawasi tautan tangan mereka, asing tetapi ini menyenangkan. Menyenangkan?
.....
Ini adalah jalanan di sudut kota, jauh dari keramaian dan lalu lalang orang-orang. Traffic cone disusun vertikal selaku penanda garis awal. Di depannya sudah berjejer deretan motor sport yang tampak gagah, siap beradu kecepatan di permukaan aspal.
Sisi kiri dan kanan diisi sekelompok pemuda pemudi, para pendukung si penantang. Sisanya merupakan penonton sukarela berdasarkan ketertarikan minat mereka terhadap balapan liar.
"Zabuza bilang, dia akan berikan dompetmu jika kau menang."
"Itu dompetku, apa dia tidak punya modal?"
"Turuti saja, daripada mereka meminta dana taruhan dikumpulkan--kau tidak dapat berbuat apa-apa. Kurasa ini bagian dari rencana dia, bukan hal buruk juga. Dia tahu kau sedang dalam kesulitan, tapi masih mengajakmu duel."
"Ke intinya, Shika."
"Cara dia untuk merebut dompetmu dari Haku, kau mengerti sekarang?"
"Ya, tapi aku tetap tidak menyukai gagasan ini, juga mereka. Seolah-olah benda itu milik dia, kenapa tidak mengembalikannya padaku dengan cara yang pantas. Maling tetaplah maling dan otaknya yang terbalik."
Kemudian Shikamaru terserang pening Dia hela napasnya dalam-dalam dan berkata, "Tapi kata-katamu lebih membingungkan aku. Ya sudah, bersiaplah! Fokus ke depan untuk menang, jangan pikirkan apapun selain itu. Menang berarti dompet itu milikmu lagi." Seakan dia berperan layaknya seorang pelatih, Shikamaru menepuk-nepuk bahu Demyanaru dengan wajah penuh keyakinan.
Bergeser ke kiri, Hinata di sana sembari mengepal tangan curi-curi. Jelas dia gugup dikelilingi kumpulan pemuda urakan berpenampilan nyentrik. Tindik di sana sini, celana jins sobek, jaket kulit serta umpatan kotor melengkapi visual brandal di paras mereka. Irisnya tertuju pada sosok si tetangga di arena balap, bibirnya refleks merekah usai menangkap seringai tipis dari pria itu. Fighting! Gerak mulutnya di jarak sepuluh meter, menyebabkan pula Demyanaru mengembangkan senyumnya seiring anggukan.
"Sensei, Anda di sini?!"
"Tamaki?! Kenapa kau bisa di sini?"
"Harusnya Saya yang tanya, Sensei--" Gadis ini menggeleng karena menemukan dosennya berada di kawasan ilegal, alih-alih di gedung perpustakaan atau pagelaran seminar umum. Namun, jangka pandangnya menubruk presensi familiar di arena, Tamaki total manggut-manggut, menafsirkan situasi yang terbaca. "Si ganteng itu pacar Anda 'kan? Aku sudah menebaknya sejak kalian kedapatan sering bersama. Dia datang ke kampus demi mengantar dan menjemput Sensei. Selera Sensei bagus juga, dia keren." Dua jempol mengacung di hadapan Hinata, tanpa ada reaksi mencolok yang dia tampakkan.
"Dia bukan--"
"Sensei malu, ya?" Tamaki menyenggol main-main lengan Hinata, cengengesan riang seolah biasa baginya untuk menggoda sosok yang notabenenya adalah Dosen dia. "Mulutku terkunci, rahasia Sensei aman di tanganku."
Sementara, ramainya jeritan knalpot menyentak fokus-fokus yang sempat teralihkan, tanpa terkecuali Hinata dan Tamaki. Pengamatan mereka berpindah ke arena di mana posisi pertama dipimpin oleh Zabuza, disusul Demyanaru dengan laju terus meningkat di belakangnya. Ada satu figur dikenal lagi di posisi terakhir, Kiba tahu-tahu sudah mengambil zonanya di situ.
"Itu Kiba 'kan?"
"Sensei pikir aku bakal datang bersama siapa jika bukan dia?!"
Hinata mengedikkan pundak tak terkesan, sorot matanya mengikuti kiprah Demyanaru yang tengah berupaya meraih tempat pertama. Lambat laun menjadi antusias, badannya beringsut semau hati, mengejar entitas kelima pembalap yang kian menjauh dari jangkauan indra. Saking seriusnya menonton, dia tiada menyadari pengawasan lanjut oleh mahasiswinya.
"Mereka ke mana?!" Tanya meredam mengimbangi senyapnya area sejenak sampai joki-joki si kuda besi memburu garis finish. Ketertarikan Hinata mengenai balap motor berangsur muncul, meski terpaksa. Apalagi rasa ingin tahu memanglah sulit dicegah jika akal diarahkan pada perkara baru.
"Di ujung nanti ada tikungan, mereka mengikuti jalan itu untuk closed. Treknya yang di kanan Sensei."
"Ah, karena itu mereka mengosongkannya?!"
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...