Hinata menunjukkan dandanan terbaiknya sore ini. Atasan kemeja satin berwarna lilac dia padukan dengan celana kain krem lembut. Rambutnya ditata ala donut bun agak miring ke telinga dipermanis pula dengan sebuah jepitan permata. Gincu merah muda dipoles tipis ke bibir sebagai sentuhan terakhir penyempurna penampilan. Sejemang dia diam memperhatikan bayangnya di cermin seakan mengagumi pantulan rupa dirinya, padahal akal tengah melayang ke mana-mana.
Sulit dipercaya, tahun-tahun sebelumnya dia memasrahkan diri menjadi samsak bagi keusilan teman-teman sebaya yang terus menerus menembakinya dengan tanya-tanya bernilai sensitif. Selalu saja seputar jodoh dan pernikahan, topik rawan juga acap kali mengikis rasa percaya diri Hinata.
Turun ke lantai dasar, dia menemukan Naru di lahan parkir lobi. Pria itu bersandar di badan motor, menyilang kaki dengan kedua lengan dilipat ke dada. Gayanya yang trendi menyerap afeksi Hinata. Dia keren, itu pendapat si ibu dosen di kesan awal perjumpaan mata. Namun, ini penampakan berbeda dari yang seringnya dia kenakan.
Ketampanannya lebih mencolok akibat kaus rajut biru terang berkerah tinggi. Tak lupa celana jins senada nan pekat berikut sepasang sneaker yang memang merupakan barang-barang favorit dia. Rambut gondrongnya diikat man bun. Serupa hari-hari biasa, hanya dengan tatanan rapi.
"Sudah?"
"Stunning!"
"Thank's, you too." Naru siaga, menarik motornya dari barisan sebelum menyerahkan helm kepada Hinata. "Pasti bakal merepotkan!" Tukasnya sembari mengamati lamat-lamat rambut Hinata, "Kita perlu menjaganya dari tiupan angin kalau kau tidak mau bentuknya jadi berantakan. Kupikir hanya pesta sederhana, ternyata kau ingin tampil dalam versi terbaik."
"Jangan dihiraukan! Aku cuma mencoba menghindari komentar atau opini sarkas yang mungkin keluar dari mulut-mulut culas mereka."
"Kau yakin tidak masalah riasanmu kacau?" Kontan Hinata terdiam dan Naru tentu bisa menebak pikirannya dengan mudah. "Kita jalan santai, pakai helmnya."
.....
Ini pengalaman baru dan pencapaian termutakhir bagi Hinata. Kehadiran dia dan Demyanaru mengunci sejenak atensi semua orang di sana, padahal mereka masih berdiri tak jauh dari pintu ganda.
Aula hotel bintang empat di pinggiran Ibu Kota menjadi tempat pertemuan para pemuda pemudi sebaya yang dulu menempuh bangku pendidikan SMA di gedung yang sama. Ruangan didesain sederhana khas nuansa vintage yang klasik. Sofa-sofa berwarna abu-abu, cokelat, kuning dan oranye tua ditata di setiap sisi tembok.
"Meleset dari ekspektasiku. Kukira mereka menyiapkan pesta kelap kelip mewah yang glamor."
"Bukankah ini bagus?! Sedikit lebih menyenangkan daripada membayangkan bakal sebosan apa menemanimu di sini."
"Mereka mengubah segalanya seperti di rumah, hangat dan ceria."
"Orang-orang tertawa, mengobrol dan bercanda. Ini konsep reuni yang cukup berkesan, biarpun tidak ada yang kukenal."
"Kau pergi bersamaku, itu alasanmu bisa sampai di sini."
"Ya, aku hanya memenuhi permintaan demi balas jasa. Sana, temui teman-temanmu!"
"Aku belum melihat temanku."
"Bukannya mereka semua berteman denganmu?"
"Maksudku teman karib." Pengakuan singkat juga terdengar aneh di telinga Demyanaru. Apa artinya ikut reuni, jika yang dicari hanya satu teman? Sementara ada puluhan orang di sekeliling mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...