Dari awal Demyanaru sudah berprasangka buruk terhadap ide tersebut. Mendadak Hinata ingin pergi ke kelab di sore hari, di saat mendung membingkai langit. Sesuka hatinya minum sampai mabuk, berujung tak sadarkan diri. Terpaksa bersusah payah menggendongnya ke kamar yang tersedia di tempat hiburan itu. Seakan rentetan tadi belum cukup merepotkan, sekonyong-konyong Hinata memuntahkan isi perut, mengotori pakaiannya sendiri.
Apalagi yang dapat terjadi setelah peristiwa di luar rencana justru bertubi-tubi menyulitkan. "Oh God, it's fucking crazy! Aku ingin sekali meninggalkan dia di sini. Haah--andai bisa, kali ini kau sangat menyusahkan."
Suka tak suka, Naru membersihkan juga tubuh Hinata yang terkena muntahan. Sedikit nekat dia membuka atasan si ibu dosen. Tidak ada kecanggungan, daripada terjebak lama di dalam situasi tak senonoh begini. Dia berupaya santai meski bra hitam berenda, menantang kewarasannya dini kaus bernoda itu berhasil ditarik. Hela napasnya mengudara berat, bergegas pula menyingkirkan baju tadi.
"Kau beruntung tidak bersama seseorang yang mudah sekali bertindak lancang di suasana begini. Wanita dengan bikini, atau nyaris telanjang, bukan hal baru bagiku--" Naru mendesah lagi, "Setidaknya fakta negatif sekalipun masih punya sisi baik di tempat yang tidak disangka-sangka. Kau harus bersyukur berurusan dengan pria berpengalaman, kuingatkan saat kau sudah sadar nanti." Jemari panjangnya refleks terulur menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah si ibu dosen.
"Sekarang, apa yang bisa kupakaikan untukmu?" Dia mengamati lamat-lamat pulasnya Hinata, memutar pandang ke tubuhnya sendiri dan seketika melepas kaus putih dari badannya. "Maaf, aku tidak ada pilihan lain. Kau tidak perlu khawatir jika sudah bangun, karena ini tidak berbau." Sangat puas bermonolog setempo ini sembari dia memasangkan kaus miliknya itu ke badan si dosen. "Lalu, apa yang dapat kuperbuat selanjutnya? Menontonmu tidur?! Heh!" Demyanaru tertawa sarkas, menyingkir ke arah jendela dan menyingkap tirainya. "Ini akan jadi malam yang panjang," katanya sebelum menyalakan pemantik membakar serta ujung batang nikotin di antara belah bibirnya. Rintik hujan di luar justru mendesaknya agar berteduh di kelab itu.
-----
"Halo, permaisuri tidur," kata yang diucapkan Demyanaru dini Hinata terjaga dan menegakkan punggungnya. "Kau sangat menikmati mimpimu?! Aku tidak bisa tidur di sembarang tempat dan luar biasanya dirimu itu, bisa lelap berjam-jam di tempat ini."
"Kita di mana?" Si ibu dosen menguap, merenggangkan otot-otot lengannya bagaikan tengah berada di bangun pagi menyegarkan di kamar pribadi yang nyaman. Kontras terhadap tetangganya yang menghabiskan waktu dengan hanya duduk di kursi, mondar mandir atau merokok demi menghangatkan badan.
"Kau tidak mengenali tempat ini? Kita masih di kelab. Kau yang teler dan hujan di luar menjebak kita di sini."
"Astaga--" Barulah si ibu dosen menunduk sesal, menepuk-nepuk pelan keningnya. "Apa saja yang terjadi?"
"Coba kau ingat, mungkin lebih baik jika aku tidak menceritakannya."
"Pasti memalukan. Aku suka berkata asal-asalan ketika mabuk. Kuharap bukan sesuatu yang bersifat pribadi." Yang terakhir dia ucapkan di hati.
"Sudah ingat?!"
"Ehm ...sebagian sih--" Tahu-tahu Hinata terbelalak. Lehernya bergeser lambat ke posisi Demyanaru, ragu-ragu beradu pandang sambil tersenyum sumbang. Lipatan sekon berikutnya, dia hela napas lumayan panjang. "Maaf, aku tidak bersungguh-sungguh mengutarakan itu di depanmu. Aku memang jadi aneh karena kebanyakan minum."
"Kalau maksudmu pernyataan vulgar yang kau bilang--sama sekali bukan apa-apa. Aku bisa mengerti kondisi di mana seseorang di bawah pengaruh alkohol. Meskipun aku bertanya-tanya, kenapa dari sekian kejadian random kau alami, justru adegan itu yang kau ingat. Aku cukup heran dengan kejujuranmu."
"Memangnya aku mengatakan apalagi?"
"Kau ingat yang mana? Bahwa kau dua kali menyaksikan percintaan orang lain termasuk diriku?!"
"Ada--lagi?" Susah payah Hinata menelan saliva, "Boleh minta sesuatu? Jangan dikatakan bila memalukan."
"Tergantung cara pandang--apa benar pernah terbayang olehmu untuk melakukan seks denganku? Kita membahas beragam masalah yang kau alami. Aku juga mengajukan diri memberi pembelajaran tentang asmara yang terlambat kau tahu, menurut pengakuanmu. Tapi, aku belum percaya kau berniat mempraktekkannya juga bersamaku. Kau mengoceh begitu beberapa jam lalu." Hinata tergugu. Disangkal tentu percuma, melainkan dia tidak seberani itu untuk mengungkapkan niatnya.
"Ehm, beri aku tenggang waktu. Bagaimana kondisi di luar? Masih hujan?"
"Ya, tidak sederas sebelumnya. Kau mau kita pulang?!"
"Bila mungkin ditempuh, kenapa tidak?!"
"Ok, bawa bungkusanmu."
"Bungkusan apa?"
"Ada di bawah, di sebelah kirimu. Kau muntah, jadi terpaksa bajumu kuganti." Si ibu dosen langsung memperhatikan penampilannya.
"Ini bukan pakaianku."
"Memang, itu punyaku. Tidak ada alternatif lain, ketimbang kau tidur dengan baju penuh noda dan basah."
"Jadi, kau sudah melihat tubuhku?"
"Aku tidak berbuat jauh. Wanita mabuk bukan bagian dari daftar keinginanku, Hinata." Demyanaru beranjak, mengambil jaket yang semula dia taruh di kepala ranjang. "Tunggu apalagi? Bangun dari situ! Ini hampir jam dua belas malam," titahnya sembari memasang jaket. Sementara, si ibu dosen tercengang. Kelopaknya terbelalak sejenak sampai dia bergegas menyingkap selimut katun tipis dan turun dari kasur.
-----
Jarak dari kelab ke apartemen relatif jauh, memakan waktu tiga puluh menit untuk tiba. Hening di sepanjang perjalanan. Aspal yang licin menahan hasrat Demyanaru untuk menaikkan laju. Hujan total berhenti, walau udara dingin amat kuat menampar kulit. Malar-malar Hinata memeluk kencang pinggang si tetangga, mencuri secuil kehangatan tubuhnya.
"Kau masih bisa bertahan 'kan?!" Nada suara dikeraskan.
"Ya, aku tidak apa-apa!" balas Hinata sama nyaringnya."
"Di depan sudah pertigaan, kita hampir sampai."
"Syukurlah. Aku tidak memperhatikan, udaranya sangat dingin." Nyatanya dia tengah berlindung di punggung lebar Demyanaru. "Hatsyi!" Akhirnya dia bersin juga, tidak mengherankan andai turun dari motor si ibu dosen bakal terserang meriang flu sekaligus.
"Ck! Kau butuh berendam dengan air hangat, Hinata."
"Hatsyi!" Sekali lagi kepalanya tersentak kecil, membentur pelan punggung Demyanaru. "Rasa-rasanya, badanku menggigil," keluh Hinata dalam suara yang sengau.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...