Bab 3

389 73 2
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.

Hari libur yang sama, tanpa hiburan untuk menyenangkan diri menemani senggang di ujung minggu. Tiada kegiatan istimewa, sudah biasa dilewati Hinata selama bertahun-tahun pergantian bulan. Menyeduh kopi di pagi hari, hanya untuk dapat memperoleh kenyamanan ketika dia memilih berdiri di balkon sembari memandang lanscape dari lantai lima gedung apartemen yang dia tempati.

Kopi tersedia berikut sebungkus roti kacang merah kesukaannya. Penampilan santai ala rumahan, kaus oblong biru muda serta celana katun di atas lutut berwarna putih, Hinata melenggang keluar dengan kedua tangan masing-masing memegang roti dan mug kopi.

Sepi dan tenang, suasana yang sering melingkupi Hinata dan dia tidak keberatan untuk itu. Selangkah demi langkah dia tiba di balkon, sedikit mengernyitkan dahi saat menjumpai jendela kaca terbuka lebar bahkan sebelum dia menggesernya. Satu fakta terbaru mengetahui dia tak pernah absen melakukannya di setiap sabtu pagi dan minggu.

Jendela hampir sebatas dada bagi tubuhnya yang agak mungil. Begitu merapat, sapuan angin sepoi-sepoi mengajak helai poninya yang panjang bebas menari-nari. Sekali menyesap kopi, satu gigitan roti juga masuk ke mulutnya.

Situasi di mana dia benar-benar sendirian, tak terkecuali pikiran dan hatinya yang masih murni, belum pernah terjamah oleh sosok siapapun selain seseorang yang dia kagumi secara diam-diam.

"Apa rotinya sangat enak?" Kontan terperanjat, dia menoleh ke kiri untuk mendapati tetangga asingnya tengah mengisap sebatang rokok. "Ya, karena kau terlihat sangat menikmatinya sampai tak memperhatikan sekelilingmu. Lima menit aku berdiri di sini dan kau sama sekali tidak bereaksi. Bukan tentang aku berharap kau akan menyapa atau semacamnya, tapi cukup aneh jika roti dan kopi bisa menelan kesadaranmu sepagi ini atau--ya, mungkin alasanmu termenung adalah penyebabnya."

Hinata bergeming, awam terhadap peristiwa semacam ini. Terlebih, belum ada terpikir dia bakal menerima begitu banyak kata dari tetangganya yang asing.

"Kau mau roti?" Kening Hinata berkerut, lagi. Kenapa tetangganya ini malah tertawa? Dia sedang mencoba beramah tamah dengan menawarkan roti. "Akan kuambilkan yang baru jika kau mau."

"Tidak, aku sudah sarapan." Sembari menggoyang-goyangkan tabung nikotin di tangannya.

"Rokok? Kau mengisi lambungmu dengan asap beracun itu?" Oke, sepertinya Hinata lebih banyak mengerutkan wajahnya pagi ini. Salahkan si tetangga yang makin tampak aneh di mata Hinata, makan dengan gulungan tembakau giling? Sangat merugikan.

"Hei, aku tidak mungkin mati hanya karena benda kecil ini."

"Kau yang membuka jendelanya?" Naruto beringsut ke pembatas, bersisian dengan Hinata. Gerakan mendadak darinya, mengakibatkan Hinata refleks menarik diri ke kiri.

"Apa yang salah? Kupikir siapapun bisa melakukannya."

"Y-ya, tidak begitu maksudku. Ini pertama kalinya ada orang lain di balkon." Fokus Naruto tertuju pada hamparan gedung-gedung di depan mata, disusul kepulan asap tipis mengudara dari belah bibirnya.

"Ternyata kau orang yang suka bicara."

Memangnya itu salah? Batin Hinata. "Aku juga terkejut, kupikir kau membatasi kata-katamu kepada orang baru."

"Hahaha, tepat sekali. Harusnya demikian. Entahlah, kayaknya pikiranku tidak baik saat ini. Jika dalam kondisi sebaliknya, aku lebih sering diam." Hinata belum sadar bahwa dia telah mengabaikan kopi dan roti di tangannya, terlena pada air muka Naruto yang menurutnya inkonsisten.

"Karena pacarmu?" Kontan pandangnya bergulir ke Hinata, terkesiap tanya sekian. Tentu dari rautnya itu kentara dia tak menyangkal. "Maaf, aku hanya-menerka. Aku belum melihatnya juga sejak kemarin."

Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang