BAB 20

683 43 25
                                    

Semuanya masih sama, berjalan seperti yang mereka lewati semula. Percintaan panas dilangsungkan dan baik Hinata maupun Demyanaru tetap masih bisa menyikapi suasana dengan tenang. Canda jenaka menemani lenggang mereka hingga mendekati sore. Kemudian, si tetangga berpamitan untuk melanjutkan aktivitas yang sudah disusun. Distrik Minato adalah tujuannya, lalu Hinata amat terkejut ketika pria itu kembali di malam hari dengan undangan perayaan kemenangan. Mereka habiskan malam panjang dengan sebotol bir serta pizza delivery.

Demikian hari tersebut berakhir sangat menyenangkan, seakan keduanya baru saja dapat membebaskan kesenangan yang mungkin sempat tertahan.

Perputaran waktu mempersingkat pergantian hari, justru terasa lebih cepat dari biasanya bagi Hinata yang kini termenung di tengah-tengah suasana damai di kelas. Masa-masa ujian terlaksana dengan baik di mana para mahasiswa mampu menangani kesulitan soal-soal. Di penghujung minggu tenang, minggu pendinginan untuk semua pejuang ujian tetap dihadiri oleh beberapa mahasiswa yang berniat mendongkrak nilai.

"Sensei--" panggilan tersebut menghapus lamunan, Hinata mengamati datar gurat penasaran di raut mahasiswanya. "Boleh aku duduk? Ada yang ingin kutanyan dan topik ini melenceng, bukan mengenai perkuliahan. Aku tidak memaksa jika Sensei keberatan."

"Duduklah." Dia mencoba sedikit ramah dari selalu, tak mengira pula bahwa akan memberi dampak besar terhadap mahasiswanya ini. Si pemuda menyeringai cukup lebar, menarik kursi tak jauh dari meja sang dosen untuk mengambil posisinya. "Kudengar si pirang itu akan kembali ke negaranya, apa benar? Kalau dihitung dari pertandingan minggu lalu, lusa adalah keberangkatannya."

"Ehm, begitulah." Tanggapan seadanya saat Hinata memang tak menemukan kalimat panjang yang cocok diutarakan.

"Sayang sekali, padahal dia menyenangkan. Kelihatan asyik berteman dengan orang seperti itu."

"Kau kelihatan tahu banyak tentang dia."

"Tidak juga, Sensei. Tapi kami sempat berkumpul dengan beberapa teman di komunitas. Dia mentraktir kami semua untuk menyambut kemenangannya."

"Ya, dia memang suka melakukan itu. Membayar banyak makanan dan menikmatinya bersama-sama."

Kiba tersenyum tipis, "Dia mengajakku ke toko suvenir, awalnya. Ada beberapa barang dia beli, bahkan menawarkan padaku juga. Lalu, sebelum pulang dia mampir ke toko perhiasan dan di situ aku tidak mengikutinya lagi." Tak tahu demi apa dia mengutarakan semuanya, Kiba cuma secara tak sadar hendak berbagi pengalaman terkait sosok Demyanaru yang sejak dini telah menggugah rasa penasaran.

"Kau masih bisa menemuinya kalau memang--"

"Tidak, Sensei. Aku tidak sedekat itu untuk membuat janji pertemuan khusus dengannya, kami belum lama berteman. Dan mungkin dia punya rencana lain sebelum keberangkatan--terima kasih, Sensei sudah bersedia mendengar omong kosongku."

"Tentu." Dan Hinata tidak memperhatikan lagi mahasiswanya. Dia memilih merapikan meja, bergegas pulang supaya dapat memanfaatkan senggangnya dengan bermalas-malasan.

-----

"Ternyata kau sibuk, ya. Aku tidak melihatmu sejak pagi." Setibanya di apartemen, Hinata bertandang ke tetangga dan mendapati pria itu sibuk mengemas barang-barang bawaannya. "Menyiapkan hadiah?" Dan Demyanaru merespons ringkas lewat gerak kepalanya.

"Kau sudah makan?"

"Belum, kotak-kotak ini hampir selesai dibungkus."

"Mau makan bersamaku?"

"Memangnya kau masak apa?"

"Tidak ada yang spesial, aku hanya tiba-tiba ingin memasak." Meskipun alasan mau repot-repot adalah sebagai salam perpisahan, namun Hinata memutuskan tidak mengucapkannya. "Aku tunggu di sana, datanglah jika kegiatanmu ini sudah tuntas."  Senyum tipis di bibir Demyanaru cukup mewakili sebentuk persetujuan.

Meja makan Hinata persis jamuan istimewa, berbanding terbalik dengan pengakuan tadi. Dia menata berbagai menu di piring juga mangkuk-mangkuk. Panci berisi kari citarasa tradisional pun tersaji di situ. Ada karage ayam dan seafood, serta tumisan dari bermacam sayuran.

"Kau masak banyak sekali, apa ini perayaan ulang tahun?!" Jelas Demyanaru sulit mengatasi keterkejutannya, dia tercengang sejenak sembari mengamati tampilan menggiurkan di depan mata.

"Tidak, ulang tahunku sudah berlalu. Aku agak bosan makan di luar. Belakangan terlalu sering memesan makanan lewat daring."

"Ya, aku juga penyebabnya." Demyanaru tertawa main-main seraya menarik kursi untuk dia duduki. "Warna-warna masakanmu kelihatan enak di mataku."

"Kau sanggup melahap habis semuanya?"

"Tentu, tentu tidak maksudku." Giliran Hinata tersenyum lebar, turut menempati kursi bagiannya.

"Jangan menahan diri, makan apapun yang kau suka."

"Aku tidak segitu polosnya untuk terlalu segan menghadapi undangan makan begini, apalagi olehmu. Kau tahu sendiri 'kan seberapa porsi yang biasa kulahap."

"Ini, makanlah! Kau suka gorengan 'kan, makanya kubuat lebih." Sembari dia mendorong piring karage ke Demyanaru.

Acara makan siang berlangsung meriah, meski cuma mereka berdua di sana. Obrolan terus bersahut-sahutan, diselingi tawa canda meramaikan suasana. Kegembiraan pun tampak jelas di paras keduanya.

-----

Sebut saja Hinata makin berani dalam bertindak. Sebab, yang dia perbuat usai makan siang terakhir mereka adalah menyatakan sebuah permintaan gila. Dia menghampiri si tetangga di ruang menonton televisi, ketika si pria sendiri hendak bermalam di apartemennya. Tidak ada segan lagi menyangkut ranah vulgar privasi, Hinata terang-terangan menuturkan wacana akal. Dan malam itu Demyanaru kembali terperangah menyaksikan kelancangan si ibu dosen dengan rasa penasaran terliar dia.

Aku ingin mencobanya sekali lagi, tetapi dengan aku yang bisa mengimbangi dirimu.

Apa yang terjadi sebetulnya? Apa kau tidak merasa terlalu keras pada dirimu?

Banyak hal kuputuskan dan aku sering berurusan dengan beragam pilihan. Segalanya terpenuhi berdasarkan pertimbangan matang. Untuk dalih yang mendasari, aku lebih suka menyimpannya sendiri.

Padahal aku berniat meninggalkan kesan baik di sini, tapi agaknya kau akan berpegang lagi pada pemikiranmu yang aneh itu. Pendatang sepertiku mengharapkan sebagian memori manis untuk mungkin dikisahkan ulang.

Bukankah kau lebih diuntungkan di sini? Aku yang menyerahkan diri. Jika turis lain bakal mengunjungi tempat-tempat hiburan malam demi memanjakan kepuasan hasrat, kau mendapatkannya dariku secara cuma-cuma.

Oh Tuhan, aku sendiri tidak berpikir untuk melepaskan nafsuku di sana. Aku memang bukan pria yang baik, apakah ukuran tidak baik itu standarnya harus menjerumuskan diri? Aku masih peduli pada diriku. Seks di sembarang tempat, maaf--belum pernah terdaftar dalam buku kenakalanku. Kau pengecualian, walau ini salah, kesalahan besar. Aku hanya memandang dirimu dari sudut berbeda, kau unik.

"Kak, ayo turun! Semuanya menunggumu untuk makan malam."

Seruan sekian menutup bayang-bayang kejadian berbulan-bulan lalu. Hinata duduk di sisi jendela, memandang keindahan terang rembulan sembari menatap kemilau biru lembayung dari gelang permata cantik, tersemat di lengannya. Sebuah cendera mata selaku simbol perpisahan oleh si tetangga asing, pria yang tentu akan terus bersemayam di dalam ingatan Hinata. Pria yang mengajarinya banyak perkara sederhana hingga paling tabu bagi khalayak, namun tidak memandang minus dirinya, tak pula memperlakukan dia semena-mena. Satu pengalaman luar biasa dan Hinata akan mengabadikannya di sanubari.

"Kak! Kenapa kau masih di situ? Berapa kali aku perlu memanggilmu?!"

"Iya, iya, aku datang, Hanabi."


T. A. M. A. T


Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang