•• ༻❁༺ ••
.
.
.Bermenit-menit Demyanaru berdiri di depan pintu. Bukan apartemennya, melainkan Hinata. Lengan kanannya terangkat dan turun lamban berulang-ulang, bimbang akan menekan bel atau tidak. Mendengkus, mendesah,terus dia lakukan selagi akalnya bergelut heboh di kepala.
Naru menahan tangannya yang kini mengudara, bunyi knop pintu yang diputar mendorong kakinya refleks melangkah ke belakang. "Kau baru pulang?!" Sejenak tercengang mendapati keberadaan tetangganya di situ, sampai Naru mendongak untuk menatapnya dengan raut sukar ditebak.
"Boleh aku masuk?"
"Tentu. Aku buang sampah sebentar, duduklah." Dua kantung plastik hitam jatuh ke kotak pembuangan berukuran besar, pekerjaan kecil di setiap harinya sebelum dia tidur. Hinata menyelonong ke dapur, membiarkan Naru menonton TV di ruang tamu.
"Hanya ada ini, persediaanku habis." Sekaleng jus buah dingin, pengganti teh atau kopi yang mestinya lebih cocok disuguhkan. "Kau sudah makan?"
"Tidak, aku langsung pulang setelah acaranya selesai."
"Acara?!"
"Ya, penyambutan anggota baru." Hinata hanya bergumam, mengangguk di balik tanda tanya yang berat dia utarakan. Tak mengerti ke mana arah perkataan pria di sampingnya.
"Aku punya ramen, ada tiga cup. Kuseduh untukmu jika kau mau."
"Terima kasih. Gara-gara aku, waktu istirahatmu jadi terganggu." Kontan Hinata menggeleng yakin kali ini, mengulas senyum tipis jangka dia kembali beranjak menuju dapur.
Agak ragu saat memikirkan akan mengunjungi tetangganya di jam malam. Tetapi, rasa suntuk akibat masalah yang dia sadari mustahil menjadi gampang, telak menguatkan kepercayaan diri Demyanaru.
Lengan-lengannya bersandar di kepala sofa sembari mengangkat satu kaki ke atas paha. Di tengah fokusnya memandang siaran televisi, kemunculan Hinata yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah sontak mengejutkan dia. "Dua cup untukmu, tunggu sejenak supaya panasnya berkurang."
Sepasang sumpit di permukaan meja keburu masuk ke dalam cup ramen. Seringai polos dia tampilkan, meniup-niup kepulan asap untuk memudahkan dia melahap sesuap gulungan mie ke mulutnya.
"Astaga, orang ini! Lidahmu terbuat dari apa sih?!" Dan Hinata menggeleng heran melihat aksi Naru yang menurutnya lebih mirip atraksi ilmu kebal. Tidak sekali, si tetangga asing terus menyeruput mie tanpa menunggu kepulan asapnya lenyap. "Mungkin karena kau sangat lapar, ya?!" Ekspresi cemas, bingung diiringi ringisan rendah terungkai dari belah bibir mungilnya.
"Aku makan sisa kornet yang ada di kulkas, telur goreng dan sepotong sosis."
"Itu saja?"
Apa harus kubilang kehabisan makanan?
"Masalah bikin nafsu makanku menurun," dustanya. Malu, sangat malu kalau sampai isi dapurnya diketahui orang lain. Walau Hinata berjasa dalam mengatasi sebagian masalahnya, tetap kondisi demikian menempatkan dia pada posisi pecundang.
"Selesaikan pelan-pelan. Yang perlu kau sadari, pikiran butuh makan agar kepalamu tidak buntu. Lalai tidak bisa dijadikan alasan, kecuali kau tidak keberatan untuk dipandang kekanak-kanakan." Tersentak, sumpit berhenti di antara geliginya dengan mie yang masih menjuntai ke dagu. "Biarkan masuk ke mulutmu, kenapa ditahan?" tanya Hinata sambil mendorong ringan siku si tetangga asing. "Sudah ketemu sama pencurinya?"
"Iya."
"Bagaimana?" Cup miliknya diangkat dan dia tidak perlu khawatir untuk menikmatj sumpit demi sumpit gulungan mie, sebab kuahnya berangsur-angsur mulai dingin.
"Dia pencuri kelas kakap. Parahnya lagi, penampilan dia benar-benar menipu. Sengaja berdandan seperti wanita, meskipun dia laki-laki tulen."
"Hah?! Maksudmu dia menyamar?"
"Aku tidak yakin. Kurasa penampilannya memang out of the brain."
Pipi Hinata menggembung, turut pula matanya menyipit di tengah dia berupaya menelan perlahan kunyahannya. "Hahaha, separah itu? Boleh kutebak? Dia pria berotot yang memakai gaun ketat?"
"Tidak."
"Pria kumis bergincu merah?"
"Tidak."
"Pria pendek, gendut dengan balon-balon di dada palsunya?"
"Tidak!" Tebakan Hinata bagai tekanan tinggi baginya. Demyanaru mendengkus keras, tergesa-gesa menelan sisa mie di cup pertama. Tangannya tak sabar menyambar cup ke dua, mulai dimakan lagi pelan-pelan.
"Dia cantik, nyaris sepertimu."
"Aaa--" Hinata melongo sesaat, mengerjap-ngerjapkan mata seraya menafsirkan penuturan tadi. Terkesiap dini sumpit di sela-sela jarinya direbut, sekejap jua mendarat di mulutnya yang terbuka pasrah.
"Telan dulu!" Seruan itu memukul nalarnya.
Aku kenapa? Hanya sumpit 'kan? Apa yang istimewa dari sumpit?
Hinata lupa, dia tak dapat menahan setiap kali mereka bersentuhan tanpa disengaja ataupun disengaja. Jantungnya berdegup kencang, terus begitu semenjak hari pertama perjumpaan mereka yang begitu buruk menjatuhkan harga dirinya. Memergoki tindakan asusila tetangga barunya, jelas-jelas ini bukanlah kebetulan yang patut dibanggakan. Salivanya tersangkut ketika adegan intim mendebarkan itu menertawai, mengejek di dalam pikirannya. Aku yang lebih pas disebut pecundang, apa iya?
"Pacarmu tidak pernah datang?" Naru menoleh, mengerutkan dahi ketika menyaksikan Hinata melongo penaka patung. "Ada apa denganmu?!" Si dosen mungil gelagapan, sentuhan kecil itu kembali menyetrum aliran darahnya. Dipicu eksistensi jemari panjang si tetangga asing yang simultan menggesek tangannya guna mengambil alih cup ramen. "Sedikit lagi kau menumpahkannya."
"Ma-maaf."
"Jangan melamun jika sedang makan!" Bunyi menggiurkan tiada henti berkecipak, meramaikan semangat Demyanaru dalam menjinakkan rasa laparnya. Kuah gurih dari ramen, berikut tekstur mie yang kenyal amat memanjakan nafsu di lidah. "Tadi aku tanya, pacarmu kok tidak pernah datang kemari?"
"Pacar?"
"Teman dekat, gebetan, seseorang yang terikat hubungan mesra denganmu. Apalagi namanya selain itu?"
"Cih, kau menyindirku, ya?" Hinata mendesah gemas, jengkel bukan main.
Nasibnya menyedihkan, dia tahu itu. Di usianya yang ke 29 tahun, dia belum juga mengecap asam manis, pahit asin dari ikatan percintaan. Awam terhadap asyiknya sentuhan sayang, kaku akan kata-kata bualan berkedok rayuan selegit madu.
"Kupikir tidak. Pertanyaanku biasa saja di kalangan umum, tergolong basa-basi sepanjang pengalamanku bercengkerama dengan orang baru."
"Itu celaan buatku, sungguh." Desah kepuasan mengudara dengan merdunya. Dua cup ramen dituntaskan tak sampai setengah jam oleh Demyanaru, obrolan randomlah penyulutnya.
"Tunjukkan, kata-kata mana yang kaubilang menghina?"
"Sudahlah, tak usah dibahas. Kau pasti sama dengan adikku, ujung-ujungnya mencibir."
"Tidak mau jawab ya diam, buat apa bicaramu ke sana sini? Kau pikir aku paham? Kenal pun tidak sama adikmu."
Ya ampun, Hinata. Dia benar, dia 'kan cuma tanya. Hakmu menjawab atau tidak. Akhirnya dia mengerang pasrah.
"Aku single, tidak di dalam hubungan pendekatan, tidak pernah punya pacar, gebetan dan--ya, begitulah. Aku bahagia dengan diriku sendiri, pekerjaan, pulang pergi kampus, jalan-jalan untuk hiburan, ketemu sahabatku dan berbincang-bincang, seputar itu."
"Ehm--"
Hinata pikir tetangganya ini siap menyumpahi dengan kata-kata sarkas sarat ledekan. Cukup takjub disahut melalui gumaman pendek, mendadak pula rongga dadanya melepas kelegaan.
"Kau percaya jika kubilang aku buta mengenai seks?"
•• ༻❁༺ ••
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...