•• ༻❁༺ ••
.
.
.Kacamatanya diturunkan satu inci, ingin memastikan apa yang kini sedang diperhatikan. Selebaran putih dengan huruf-huruf yang tersusun membentuk kata-kata asing hasil percetakan, namun atensi tertuju pada tinta merah di sudut kanan, D+ tertulis di situ hingga mendadak Hinata merasakan penat menghantam di kepala. Kertas tadi dia taruh ke bawah guna mengambil kertas yang lain, reaksi serupa ketika dia menemukan huruf E di ujung kertas tersebut.
"Kiba, Tamaki!" Rendah dan tegas sekaligus, mendorong dua mahasiswanya ini segera beringsut ke depan.
"Sensei ..." Keduanya menghadap Hinata dengan ekspresi ramah di wajah masing-masing, belum menyadari apa sekiranya tujuan sang dosen memanggil.
"Apa kalian tahu alasanku memanggil kalian?"
"Tidak, Sensei/entahlah." Baik Tamaki maupun Kiba menjawab serempak dengan kata berlainan.
"Nilai ujian kalian minggu lalu." Seraya mendekatkan kertas-kertas bertinta merah ke hadapan dua mahasiswanya ini. "E untukmu Kiba dan D+ yang kau dapatkan, Tamaki. Apa kalian puas dengan nilai ini?"
"Ah--anu Sensei, aku ... kemarin aku tidak sempat belajar di rumah. Orang tuaku menitipkan banyak pekerjaan padaku, jadi..."
"Kau tidak mau membuat pembelaan seperti Tamaki, Kiba?"
"Kurasa tidak perlu. Sensei tahu sendiri aku benci mata kuliah ini. Bahasa Inggris terlalu sulit bagiku."
"Kau akan menyerah begitu saja?"
"Tentu, aku tidak suka memaksakan diri Sensei."
"Lebih suka memaksa Tamaki?!" Kening Kiba berkerut heran, seiring refleks Tamaki menatap intens Hinata.
"Maksud, Sensei?" Kiba menegakkan punggungnya, menyilangkan lengan ke dada. Sementara, Hinata hela napasnya dengan keras sebelum melepaskan beban yang telah meracuni otaknya semalaman penuh.
"Kau percaya jika kukatakan aku melihat semua perbuatan asusila kalian kemarin?" Akhirnya, akhirnya pernyataan ini berhasil dia ungkapkan tanpa ragu-ragu dan gugup. Hinata yakin dia melakukannya dengan benar.
"Aku tidak mengerti." Tekan Kiba, kerut di mukanya kian tajam.
"Aku tahu masalah ini bukanlah wewenangku. Tapi, karena aku adalah Dosen Akademik kalian, mau tak mau aku wajib memberi peringatan di sini." Sejenak hening semasih Hinata merogoh sesuatu dari dalam tasnya yang tersimpan di laci meja, "Gunakan untuk menyewa hotel kapsul, aku tidak ingin melihat lagi kejadian cabul kemarin terulang di sekitar kampus. Sangat memalukan! Kau meniduri pacarmu di tempat umum, apa kau kehilangan akalmu?!" Kontan keduanya terperanjat, bahkan si gadis menjadi canggung di posisinya, tertunduk malu. "Ambil, Tamaki! Bawa sekalian kertas ujian kalian. Aku beri waktu seminggu untuk mengerjakan tugas tambahan, sepuluh halaman penuh conversation dengan tema pariwisata. Tanpa kompensasi, harus dikumpulkan minggu depan, kembali ke tempat kalian!" titahnya begitu Tamaki meraih beberapa lembar uang yen berikut kertas ujian.
"Gara-gara ulahmu kita jadi dipermalukan." Tamaki berdecih, mendelik kepada pria di sampingnya.
"Iya iya, aku minta maaf."
"Dalam mimpimu!" Dan Tamaki mempercepat entakan langkahnya yang telanjur diselimuti kekesalan.
"Aku benar-benar cape belakangan ini, ya ampun!" ucap Hinata rendah selagi memijit-mijit ringan bagian tengkuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...