BAB 9

283 53 9
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.


"Sensei...!" Pagi yang menyebalkan, pikir Hinata. Seruan nyaring oleh mahasiswinya ini menghancurkan suasana tenang yang sedang dia nikmati. Secangkir kopi sebelum mengajar atau terkadang teh jika dia merasa bosan, sebentuk kebiasaan mengisi skedul hari-harinya. "Tumben sekali Sensei minum kopi di kafetaria," celetuk si gadis manis berambut cokelat ini. Dia datang secara tiba-tiba, mengulas senyum lebar nan aneh di mata Hinata. Sungguh tingkahnya patut dipertanyakan, hingga tak kunjung dia menanggapi. "Kopinya enak 'kan, Sensei? Aku juga suka rasa kopi di sini."  Tahu-tahu Hinata mengerang malas, melipat tangan di permukaan meja sembari memperhatikan mahasiswinya.

"Kopi dan teh di rumahku habis. Aku tidak bisa beraktivitas dengan santai jika melewatkan salah satunya."

"Itu baik. Sensei memang perlu asupan untuk menambah semangat." Masih juga dia girang, berbeda dari yang kerap tampak di pengamatan Hinata.

"Maumu apa sebenarnya, Tamaki? Ini seperti bukan dirimu."

"Sensei, aku yang asli ya begini. Menurut Sensei bagaimana rupanya?"

"Kau dan Kiba 'kan sama, kalian pikir aku tidak sadar? Sejak kapan kalian memata-mataiku?" Kali ini mahasiswinya itu nyengir-nyengir kuda, menyelipkan rambut ke balik telinga akibat kegugupan mendadak menyerang, kendati dia sudah memperkirakan sambutan sekian.

"Maaf, Sensei. Kami sungguh tidak bermaksud mengawasimu, buat apa kami lakukan terhadap dosen kami sendiri. Kami tidak akan berani. Hanya saja, kami selalu kebetulan menemukan Sensei saat--saat bersama pria berambut pirang--itu." Tamaki spontan menunduk usai tertawa ragu-ragu dan Hinata kembali mendengkus.

"Lalu?!"

"Ah, anu--ehm, apa dia--"

"Dia bukan siapa-siapa. Dia tetanggaku, tinggal di sebelah apartemenku. Dia berasal dari Amerika, datang ke sini untuk liburan. Ada lagi yang hendak kau tahu?"

"Oh, ti-tidak Sensei. Kupikir kau dan dia adalah ... karena akhir-akhir ini aku sering melihatnya di kampus. Kau pergi dan pulang bersamanya 'kan?"

Butuh kesabaran besar dalam menghadapi rasa penasaran mahasiswinya ini. Padahal, semula keduanya tidak terlibat interaksi apapun diluar kegiatan perkuliahan. Tentu perkara demikian sedikit menyebabkan Hinata bimbang untuk merespons. "Tamaki, kau itu mahasiswiku. Aku tidak akan marah padamu, tapi apa kau paham batas privasi?"

"Aku mengerti. Permisi, Sensei." Jangka dia beranjak, Hinata pun menggeleng-geleng jemu. Entah gerangan apa yang menarik mahasiswinya ini hingga bertindak seakan mereka pernah akrab satu sama lain.

...

Persis obrolan tempo hari, Naru memenuhi ajakan Shikamaru untuk turun ke sirkuit balap motor. Dia di sini, menekan amarah di hadapan sosok pencopet handal yang telah berhasil mengelabui dirinya. Kekesalan meningkat setelah mendapati orang tersebut justru kelihatan luar biasa tenang seolah tiada kejahatan diperbuatnya.

"Ehm, kau punya teman baru, Shika? Seorang pemuda asing, ya." Tanpa malu dia menyapa, menyolek dada Naru main-main dengan telunjuknya. "Sungguh tampan, siapa namamu?" 

Dengar, apapun yang terjadi nanti tetaplah tenang, agar rencana ini berhasil. Soal emosionalmu, kau bisa mengontrolnya 'kan?

Memangnya kenapa? Kita hanya menemui dia untuk meminta baik-baik barangku yang dicuri.

Tentu. Aku mengingatkan supaya kau berjaga-jaga sedari awal. Situasinya mungkin tidak sejalan dengan perkiraanmu.

'Sial'! Barusan dia mengumpat dalam hati. Beginikah maksud peringatan Shikamaru? Dia tidak mengira jika yang mereka jumpai adalah pria sedikit gila, menyangka bahwa si pencopet perlu diperlakukan lembut karena yakin sosoknya wanita. Alih-alih ingin bertindak halus, Naru berupaya meredam gejolak panas di dadanya, berharap dapat melayangkan satu pukulan ke wajah si pria jadi-jadian.

"Los Angeles."

"Oh, negeri yang jauh. Kau mau ikut balapan juga?" Sejak tadi Naru masih terdiam, enggan menanggapi celotehan si pencopet yang begitu menyebalkan di matanya. Di sisi lain Shikamaru terus mengawasi suasana di antara mereka, menyaksikan bagaimana kerasnya Demyanaru mengatasi kemarahannya.

"Wah, Shikamaru?!" Serta merta pria berbadan besar menghampiri, menyambut ramah si pria berambut top knot seraya berjabat tangan ala mereka.

"Aku tidak mungkin melewatkan hari ini, kau sudah tahu itu."

"Lagi pula siapa yang mau mengabaikan kesenangan sehebat ini? Bukankah begitu?" cecarnya Sembari mengedarkan pandang ke sekeliling. Indranya menangkap kelap kelip lampu mobil sedan yang telah dimodifikasi sekian rupa, keren dan unik dibingkai warna-warna menyala.

"Tidak perlu diragukan." Keduanya serempak tertawa, sampai Shikamaru menarik bahu si pria berbadan besar supaya agak menjauh dari posisi Naru. "Ada yang harus kukatakan padamu."

"Hei, kau kaku sekali. Apa ini sesuatu yang gawat?"

"Kau boleh menilainya seperti itu kalau mau."

"Baiklah, sepertinya memang terjadi masalah."  Shikamaru mengangguk, air mukanya pun berubah serius jangka dia melakukan pembicaraan rahasia bersama Zabuza.

"Kau lihat si rambut pirang itu? Dia temanku dan dia kehilangan benda pentingnya di bar. Dia seorang diri di sini, tidak ada yang bisa menolongnya."  desahan rendah mengudara, "Tapi kau bisa."

"Aku? Kenapa mesti aku? Aku tidak kenal dia, lalu kau berpikir aku mampu--"

"Zabuza, kau sangat paham kata-kataku. Kejadiannya di bar dan kita berdua tahu seberapa sering pencurian di--"

"Apa tebakanku benar?" Tatapannya tertuju ke pria berambut panjang, si pria aneh yang saat ini sedang tersenyum kepada Demyanaru. "Haku pelakunya?" Anggukan kecil dia terima jua dari Shikamaru.

"Temanku menyebutkan ciri-ciri yang sama dengan Haku."

"Tapi dia sudah berjanji padaku untuk tidak mencuri kembali."

"Oleh karena itu aku tidak langsung menuduhnya. Tapi, temanku juga tidak bisa merelakan. Dia pasti menerima banyak masalah andai tidak mendapatkannya lagi." Lantas, Zabuza mendengkus kasar. Dia mengamati lamat-lamat paras lugu pria yang menjadi topik obrolan mereka.

"Entahlah, Shikamaru. Aku sudah lama berhenti mengurus masalah demikian."

"Kuharap kau bersedia membantu temanku."

"Aku kurang yakin, tapi akan kucoba. Beritahu temanmu agar bersabar. Haku bukan orang yang mudah."

"Terima kasih. Kau memang bisa diandalkan."

"Sebaiknya kita ke sana, jangan sampai dia curiga." Keduanya balik ke tempat awal dan Haku kontan menoleh, mengulas senyum simpul di bibirnya.

"Hei, kalian tidak sopan sekali. Ada tamu dan kau Zabuza bukannya menyapa, malah sibuk dengan Shikamaru."

"Maaf. Selamat datang di Tokyo, aa--"

"Demyanaru." Sahutnya menyela, memperkenalkan diri sambil menerima sambutan tangan Zabuza.

"Zabuza," balas si pria berbadan besar selanjutnya. "Kau tertarik ke arena? Setengah jam lagi akan ada kompetisi persahabatan. Kami menyambut pembalap baru yang mau bergabung, barangkali kau berminat."

"Aku cuma punya motor."

"Ini salahku, aku lupa menyampaikannya padamu. Kalau kau berniat turun, pakai mobilku." Pernyataan Shikamaru tersebut menarik afeksi ketiga lainnya, termasuk Demyanaru. Sejenak dia bergeming, menimbang-nimbang penawaran tadi.

"Jika itu mobilku sendiri, aku tidak bakal ragu. Risikonya sangat besar dan kondisiku sekarang sedang tidak aman untuk menantang."

•• ༻❁༺ ••

Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang