•• ༻❁༺ ••
.
.
."Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Reaksimu cuma begitu? Manggut-manggut?!"
"Kau mau aku bagaimana?"
"Ya--kaget mungkin, tertawa atau menganggapku aneh seperti mereka, adik dan temanku."
"Bukan urusanku juga, kau memahami seks atau tidak. Dan kenapa kau selalu membandingkanku dengan adikmu? Kau menjadikan dia tolak ukur atas sesuatu dalam dirimu yang ingin kau nilai?"
"Menurutmu begitu?!"
"Aku tidak peduli. Anyway, terima kasih untuk ramennya. Ini enak sekali." Dia bersendawa keras, usai meneguk tandas minuman kalengnya.
"Aku malu. Aku hebat di bagian akademik dan karier, tetapi nol untuk pengalaman tentang cinta maupun seks. Aku belum pernah menjalin kedekatan dengan pria. Menyedihkan, ya?!"
"Sensei ... sensei ... Hinata Sensei..."
"Saara?!" Teguran mahasiswinya sontak merebut lamunan Hinata, dia terperanjat dan langsung mengalihkan perhatian.
"Boleh aku pulang? Aku sudah menyelesaikan semua soalnya."
"Coba kulihat," pintanya ketika mengambil kertas ujian si mahasiswi. "Good, kau benar-benar belajar." Seulas senyuman datang usai sepintas mengecek lembar ujian mahasiswinya, menyebabkan si empu turut menyeringai lega.
"Aku bisa pulang sekarang, Sensei?!"
"Tentu, sampai jumpa lagi," katanya dini si mahasiswi berjalan tenang ke pintu keluar.
Embusan napas mengudara rendah, Hinata meninjau situasi kelas yang masih tampak senyap. Ujian pertengahan semester tak pula menahan keseriusan mahasiswa dalam menaklukkan soal-soal. Meski sesekali gumam keluhan sayup-sayup terdengar, nyatanya tiada mengusik ketenteraman, terkecuali kedamaian di benak Hinata.
Lebih dari seminggu, keakraban dengan si tetangga asing berangsur-angsur terjalin. Gugup dan rasa sungkan semula turut berkurang perlahan-lahan. Detik detik berlalu, mengiringi interaksi yang terjalin di antara mereka. Hinata menempuh tanpa pertimbangan, percakapan mengalir jua seadanya, hingga privasi tak lagi berada di lingkup pribadi.
"Kau tidak punya pacar?"
"Tidak."
"Belum sama sekali?"
"Hem, kau tidak percaya?"
"Apa ada pria yang menarik hatimu?"
"Maksudmu crush?"
"Ya, semacam itu."
"Ehm--ada seseorang yang kukagumi, tetapi bukan animo seksual. Aku hanya suka dia karena menurutku dia keren, pintar, masuk ke dalam kriteria pria idamanku."
"Cobalah dekati dia."
"Aku?!"
"Kau keberatan jika memulainya duluan?"
"Entahlah, aku bingung. Masalahnya, hal ini baru bagiku."
"Biar kubantu, itupun kalau kau setuju."
"Kau serius? Aku tidak bakal segan-segan lagi loh, kau sendiri yang mengajukan diri."
"Bisnis saling menguntungkan. Kau sudah banyak menolongku. Selagi aku belum dapat membayar, minimnya ada yang mampu kuperbuat untukmu. Bahkan andai kau memintaku menjadi tutor edukasi seks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...