BAB 8

306 62 26
                                    

•• ༻❁༺ ••
.
.
.

Seminggu berlalu setelah Hinata menyatakan dirinya bersedia membantu dan Naru tidak perlu pertimbangan apapun untuk menanggapinya, selain menuai kelegaan. Syukurnya lagi, Hinata tak pula melayangkan ketentuan sebagai balasan, seperti sebentuk angin segar di balik kemelut di akal pria itu.

Ada satu ketidaksengajaan, berangsur-angsur keduanya lebih sering bersama. Setiap harinya pula Naru menawarkan diri untuk mengantar jemput Hinata ke kampus. Meski semula sempat menolak, nyatanya Naru punya alasan tepat di balik tindakan sekian. Sedikitnya masih ada sesuatu yang bisa dia lakukan mewakili itikad baiknya.

"Maaf ya, pertemuan itu diluar dugaanku. Benar-benar mendadak."

"Aku juga belum lama di sini." Seringai tipis terukir di wajahnya, seiring erangan rendah di raut penyesalan Hinata.

"Setengah jam bukan waktu yang sebentar untuk menunggu." Bahunya turut merosot, Hinata gusar memperkirakan kemungkinan reaksi yang akan diperlihatkan tetangganya ini. "Makanya kuminta kau pulang."  Sejenak kening Naru berkerut sampai senyuman yang sama kembali membuat Hinata terusik, dia mengharapkan sepenggal protes guna menenangkan hati.

"Aku harus bagaimana?" Napasnya berembus ringan jangka mendapati kebingungan di mata Hinata. "Begini saja, kau boleh menganggap ini sebagai hubungan saling menguntungkan. Kau tahu sendiri 'kan, aku butuh waktu untuk mengganti uang yang kau pinjamkan. Sudah kukatakan juga kalau aku tidak suka terikat balas budi." Ya, sedikitnya Hinata memahami maksud perkataan si tetangga asing. Hanya saja dia hanyut ke dalam asumsi jauh di benaknya, cukup heran terhadap kelakuan Naru yang rela menantinya di depan gerbang kampus layaknya teman dekat. Itu yang diam-diam hinggap di kepalanya. "Kau mau kita terus jadi tontonan dua orang di sana?" Seraya mengangkat dagunya ke depan, diikuti pandang Hinata bergulir menemukan mahasiswanya tengah mengamati mereka dari atas motor.

"Kiba, Tamaki--"

"Naiklah Hinata atau mereka akan berpikir yang tidak-tidak tentangmu."

Atensi Hinata segera berpaling begitu Naru menyerahkan helm ke tangannya. Dia naik tanpa memedulikan perhatian dua mahasiswanya yang justru betah mengamati dia hingga menghilang dari jangkauan indra.

"Langsung pulang?!" Teriakan kecil ini disambut cepat oleh Hinata, dia mencondongkan kepalanya supaya bisa  mendengar perkataan Naru.

"Jika kubilang ingin berjalan-jalan sejenak, apa kau keberatan?"

"Tidak, aku siap mengantarmu."

Senyum simpul bersembunyi di punggung Naru dan Hinata menjawab dengan sumringah, "Aku pemandu jalanmu hari ini. Ada banyak tempat bagus yang wajib dikunjungi, mumpung kau masih di Tokyo."

"Boleh juga. Katakan saja arahnya, aku mengikutimu."  Hinata mengangguk senang, kentara di binar matanya yang menyipit.

Pengalaman baru, naik motor bersama si tetangga asing adalah satu dari banyak agenda menyenangkan yang barangkali bakal menghampiri Hinata. Dia mulai menikmati rasa gugup yang kerap datang, bahkan tiada menyadari seberapa dekat tubuhnya menempel ke punggung Naru. Aroma maskulin yang halus namun pekat seakan tak habis-habis membuai penciumannya.

"Kau selalu harum, harum sekali, lirih Hinata. Lengan-lengan mungilnya mengerat, selaras matanya terpejam menyamankan diri.

"Jangan tidur, aku bisa membawa kita tersesat entah ke mana. Hinata--"

"Aku dengar dan aku tidak mudah tertidur di jalan."  Senyumannya mengembang, dia hanyut dalam keintiman yang mampir secara kebetulan.

Bermenit-menit roda berputar membelah jalan tanpa petunjuk dari suara Hinata. Tak sulit bagi Naru menebak situasinya, Hinata ketiduran. Alhasil, Naru menghentikan motornya di tepian jalan tepat di atas Rainbow Bridge, sebuah jembatan yang melintasi Teluk Tokyo utara antara Dermaga Shibaura dan perairan Odaiba.

Demyanaru hanya diam, memandang hamparan air sembari meresapi sapuan semilir angin. "Kenapa berhenti?" Tiba-tiba Hinata menginterupsi, membuat Naru menoleh ke dia cuma untuk menertawai kondisinya yang kini sedang menguap.

"Siapa yang bilang tidak mudah tertidur? Kau sangat yakin tadi." Kontan Hinata melongo, matanya membulat lebar.

"Ah, a-aku ketiduran."

"Memang itu yang barusan kukatakan. Ternyata kau plinplan juga ya." Kemudian Hinata mendengkus pasrah.

"Aku minta maaf. Tapi, sebelumnya aku tidak pernah begni. Ini pertama kalinya aku tidur di jalan--"

"Dan di atas motor. Kalau aku terlambat menyadarinya, bisa saja kau jatuh. Lalu, aku yang disalahkan."

"Ini yang pertama sekaligus terakhir kalinya aku tidur di atas motormu, pegang janjiku." Naru mengedikkan kedua bahunya, menelusuri ulang bentang teluk di hadapan mata.

"Ayo ke pantai," celetuk Hinata, berhasil meraih lagi afeksi si tetangga asing. "Tidak jauh dari sini, tapi sebaiknya kita makan dulu." Nihil sahutan, melainkan Naru tertunduk seakan menimbang-nimbang. "Aku jamin kau suka, kita bisa duduk sambil menyambut matahari terbenam."

...

Di sinilah mereka saat ini, duduk beralaskan jaket bomber kepunyaan Demyanaru. "Aku tidak tahu sejak kapan mulai terbiasa merepotkanmu, padahal aku hanya ingin terlihat bertanggung jawab. Apalagi kita tidak seakrab itu untuk kau mentraktirku makan lebih sering."

"Lain kali kau bisa mentraktirku, tidak sekarang. Kau masih mencari dompetmu 'kan? Kau bilang temanmu siap membantu menemukannya. Kalau sudah selesai, kau harus siap membayar banyak untuk semua makanan favoritku." 

Satu dua tiga minuman soda diteguk oleh Demyanaru, mengakibatkan buah jakunnya naik turun kentara jantan. Keseluruhan geriknya tak luput jua dari pengawasan Hinata, pancaran di mutiara kelabu turut menyorot tak senonoh. Buru-buru dia membuang muka, menghapus bayang-bayang liar yang telanjur menyinggahi.

"Terima kasih, kuharap bisa memenuhi permintaanmu nanti."

Odaiba merupakan sebuah pantai buatan  sepanjang 800 meter. Terletak di dekat mal perbelanjaan Decks. Area ini diberikan fasilitas umum seperti shower dan toilet. Kebanyakan pengunjung yang mampir demi menikmati panas matahari, bermain air atau ikut serta dalam sebuah kegiatan seperti voli pantai.

Rainbow Bridge dan gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo akan terlihat dari pantai ini, spot pantai tersebut juga memberikan posisi terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam.

"Pacarmu sudah menelepon?"

"Kau menanyakan Sakura?"

"Ah.. hahaha, tidak begitu. Ehm, maksudku--belakangan ini aku belum melihat kalian mengobrol, atau aku saja yang tidak tahu ya. Astaga, aku mendadak merasa agak aneh. Kau tidak usah menjawabnya, maaf."  Hawa canggung tak terkendali, Hinata mengartikan demikian hingga tergesa-gesa menegak minuman kalengnya.

"Pelan-pelan, kau ini kenapa? Sangat semberono!" Menghardik kecil serta mengambil kaleng soda dari genggaman Hinata, mengerutkan keningnya menjumpai Hinata terbatuk-batuk dengan mata yang berair. Detik berikutnya dia tergelak dan berkata, "Aku tidak mengira bahwa kau juga bisa bertingkah aneh, Bu Dosen."  Pengakuan sekian memancing keluar semburat merah di pipi gembil Hinata, lekas dia menepikan mukanya seraya mengontrol pernapasan yang tadi tersedak.

"Kau tertawa sekeras itu?" Tanya Hinata menelisik melalui mutiara kelabunya.

"Apa mengganggumu?" Tawanya tetap berlangsung, menemani masa di sekeliling Hinata yang seolah melambat.

"Tidak, tapi kau jadi makin tampan."

•• ༻❁༺ ••







Neophyte ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang