Tidak ada yang berubah, semuanya masih berjalan semula kendati tetangga yang diam-diam dia sukai sudah terbebas dari masalahnya. Melalui jeri payahnya sendiri, Demyanaru berhasil mendapatkan kembali barang miliknya tanpa penghalang berarti.
Dompet, kartu dan surat-surat penting, segalanya masih utuh, justru nominal uang yang tersimpan di situ menjadi tiga kali lipat lebih banyak. Agaknya beberapa oknum di turnamen balap liar tempo hari menyembunyikan angka pertaruhan. Seumpama misi jebakan, meski dewi fortuna memihak Demyanaru sebagai pemenang.
"Kau tunggu di sini, ya. Aku ke belakang dulu," kata Hinata sambil beringsut menuju dapur. Pulang dari kampus dia mengajak si tetangga untuk singgah sejenak di kafe temannya. Sementara, Demyanaru menggunakan pula momen demikian untuk berterimakasih secara benar kepada wanita ini, dia berniat mentraktirnya atau apapun yang menjadi keinginan Hinata.
"Hei--kau kemari?!"
"Aku ingin marah padamu, Tenten." Lalu, si empunya nama hanya tertawa ringan, memandang gemas pada dia yang kini bersedekap angkuh. "Tidak ada kabar sama sekali? Apa maksudnya itu?"
"Maaf, aku tidak tahu harus menjawab apa." Tenten mendengkus, berbalik untuk menyandarkan panggulnya di meja pantri.
"Jelaskan!"
"Kehamilan ini agak membuatku kerepotan. Ya ampun, Nat, aku mual setengah mati dan berulang kali ingin muntah. Gara-gara itu aku jadi lemas sekali sampai Shino pun memintaku buat istirahat penuh di rumah." Hinata hela napasnya dalam-dalam, siap merespons sebelum presensi lain mengalihkan fokusnya.
"Ah, ada Hinata rupanya."
"Shino, kau tampak baik," sapa Hinata berikut seulas seringai tipis di bibirnya.
"Seperti yang kau lihat, aku bisa bernapas lega dari hari ini."
Pengakuan tersebut mengerutkan kening Hinata dan ketika dia menoleh ke Tenten, sontak kepalanya mengangguk-angguk. Jelas sekali tujuan dari ucapan Shino mengarah pada kehamilan teman karibnya.
"Kau suami yang baik, setidaknya Tenten bisa menerima perhatian lebih banyak. Dia pasti sangat membutuhkannya demi keamanan mental."
"Benar, kau tahu sendiri 'kan kami menunggunya sejak lama. Hal ini semacam hadiah terbesar yang pernah kami terima seumur-umur."
"Sudah, sudah, jangan diteruskan lagi. Aku tidak suka percakapan haru. Itu malah memperburuk suasana hatiku yang sedang bagus. Ah, Hinata ... kau mampir untuk berbincang-bincang denganku 'kan? Dan Shino, awasi kuenya untukku ya. Akan matang kisaran sepuluh menit lagi. Ayo, Hinata!" Keduanya meninggalkan dapur, serempak sepenggal seruan menyambung.
"Kusiapkan secangkir kopi untukmu, Hinata."
"Terima kasih, Shino. Tapi, tolong buatkan dua ya. Aku bawa temanku."
"Kupikir kau hanya sendirian."
"Ada yang ingin kukenalkan padamu, Tenten."
"Yang mana orangnya?" Celangak-celinguk mencari sosok yang diumumkan tadi, tak ubahnya Hinata melirik ke kiri dan kanan.
"Mungkin dia keluar, tunggu saja di sini. Duduklah, jangan berdiri lama-lama. Janinmu masih muda."
Tepat di saat bokong mereka mendarat di permukaan kursi, lonceng di pintu berbunyi seakan sedang meneriakkan siapa yang tengah dicari.
"Dia maksudmu?!" Tunjuk Tenten begitu Demyanaru mengambil posisi di samping dia.
"Tetangga sebelah, aku pergi bersamanya ke acara reuni kemarin."
"Jadi, kau berhasil menutup mulut-mulut mereka dengan kehadiran dia?!" Hinata cuma dapat tersenyum canggung, meski fakta sekian bukanlah wacana mengejutkan bagi Demyanaru. Pria ini mendengar sendiri dari mulut Hinata, jangka keduanya menyetujui kesepakatan yang dibentuk.
"Mereka sibuk dengan dirinya masing-masing. Sepanjang acara berlangsung, aku tidak menemukan tanda-tanda penyerangan."
"Ini kopi kalian. Wah, Hinata--kau punya pacar sekarang?"
"Ah, ehm dia ini--tetanggaku, Shino." Hampir saja celetukan tadi membuat Hinata salah tingkah, alhasil dia tergelak canggung demi menutupi rasa gugupnya. Sejemang membuang muka, merutuki sikap spontan si pria berpenampilan klimis. Astaga, bagaimana jika Demyanaru risi dan tidak menyukai tuduhan itu?
"Oh, begitu ya?! Tebakanku terlalu awal. Sudah berapa lama kalian saling mengenal?" Kali ini Shino mengungkap terang-terangan rasa penasarannya, dia tujukan kepada pria berambut pirang itu.
"Kurang lebih sebulan."
"Kau datang dari mana?"
"Amerika."
"Jauh juga, ya. Harus kuat-kuat mental kalau Hinata tetap nekat melanjutkan hubungan kalian ke tingkat serius." Makin Hinata mati kutu, tidak menyangka bakal diberondong mulut Shino yang selalu seenaknya di sembarang tempat. Berbeda pula dengan Tenten, dia kentara tiada berminat menanggapi celoteh suaminya. Menunduk malas seakan jemu menghadapi situasi tersebut. "Tapi, kau beruntung mendapatkan Hinata. Dia ini bersih dari pengalaman percintaan masa muda. Dia tidak selugu kelihatannya, tapi kalau kalian benar-benar meresmikan hubungan, maka kau yang pertama bagi temanku ini."
"Shino, kau tidak lupa kuenya 'kan, Sayang?" sela Tenten, memampangkan senyum paksa di bibirnya yang merapat disertai delikan tajam.
"Haah, untung kau ingatkan," jawabnya cengengesan sambil mengusap-usap tengkuk. "Senang mengobrol denganmu, Tuan, Paman Sam. Lain kali kita mengobrol lagi, aku masih ada pekerjaan di dapur. Kopinya, silakan diminum. Hinata yang akan membayar." Lalu, desahan kasar terdengar dari posisi Tenten, jelas-jelas dia tengah menahan kesal kepada suaminya ini.
"Maafkan dia, aku sudah berulang-ulang mengingatkannya agar tidak mengganggu orang lain dengan bicaranya yang kurang bermutu." Hawa tak mengenakkan tadi pun segera sirna, Hinata menggulir tatap ke Demyanaru seiring senyum simpul dia berikan.
Sorry, gerak bibirnya yang ditanggapi juga lewat seringai santai. Sesungguhnya dia tidak merasa terusik oleh perlakuan itu, "Kupikir dia cukup menyenangkan dan bersahabat."
"Aku tidak keberatan dengan keramahtamahan yang dia coba pertontonkan. Tapi, mulutnya itu selalu asal bicara, semoga saja tidak membuatmu tersinggung."
"Tidak jadi masalah. Omong-omong, boleh kucicipi kopinya?"
"Tentu, dia belum pernah gagal mengesankan pengunjung yang mampir kemari, termasuk Hinata," sahut Tenten sembari melirik ke samping, "Dia bilang kopi buatan Shino lebih nikmat daripada buatanku."
"Ehm, kurasa dia pantas mendapatkan pujian itu. Kopinya memang enak." Sekali menyesap dan dia ketagihan, Demyanaru lantas menyeruputnya ulang hati-hati.
"Reaksi mereka yang sudah meminumnya juga sama sepertimu. Oh ya, Hinata--" serta merta Tenten berpaling lihat ke teman karibnya, "Ceritakan apa yang terjadi di reuni itu? Sayang sekali aku tidak ikut menyaksikannya, apakah tetanggamu ini tidak menggugah rasa ingin tahu mereka? Aku pribadi pasti siap mewawancarai dirimu dengan banyak pertanyaan. Apa kalian dalam masa pendekatan?" Lipatan dan lipatan detik berikutnya, baik Hinata maupun Demyanaru puas terdiam. Dua kali menangkap persepsi begini mendadak mematikan sejenak jaringan saraf di kepala keduanya.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Neophyte ✓
RomanceHinata tahu bahwa dia membosankan. Sangat tahu, bahkan tak menyanggah ketika orang-orang di sekelilingnya mencemooh hidupnya yang datar dan lurus-lurus saja. Marah? Tidak! Namun, dia lelah. Lelah dalam artian merasa cukup untuk semua cibiran demiki...