Tepat pukul setengah enam pagi, suasana rumah sederhana Bintang telah hiruk. Alrescha tampak santai mengecek email masuk yang dikirimkan sekretarisnya setelah sarapan, sembari menunggu Bintang yang sedang berganti baju. Pak Dian terlihat sedang menelepon seseorang, seakan memberi laporan kepada atasannya. Berbeda dengan Pak Agung. Ia mengawasi beberapa tetangga Bintang yang sedang berlalu lalang seraya bermain dengan smartphone-nya.
"Ma, dasiku mana?" teriak Ibra sambil keluar dari kamar dengan mengenakan baju seragam putih abu-abu yang belum rapi.
Lintang yang sedang mencuci piring menoleh sejenak, "Digantungan baju nggak ada?"
"Enggak ada, Mama...," sungut Ibra yang sedari tadi mencari namun tidak menemukannya.
"Coba dicari lagi. Carinya pakai tangan, jangan pakai mulut," balas Lintang yang sudah hafal dengan polah tingkah putra bungsunya.
"Hah!!"
Alrescha menahan senyum. Melihat tingkah Ibra saat ini seperti sedang memutar kenangan lamanya. Teringat akan dirinya yang sering bertingkah seperti Ibra pada sang ibunda dulu. Sosok bia-nya bagaikan dewi yang maha mengetahui segala hal di dunia. Hingga sekarang, Alrescha akan selalu menganggap bahwa seorang ibu adalah mahadewi.
"Bang, lima menit lagi taksi online-nya datang," lapor Pak Agung yang telah berhasil memesan taksi online atas perintah Alrescha.
Alrescha mengangguk, "Terima kasih, Pak Agung. Tinggal menunggu Bintang saja."
"Maaf, Bang. Di luar ramai sekali. Sepertinya ibu-ibu sedang membicarakan keberadaan kita di sini," bisik Pak Agung yang membuat dahi Alrescha mengerut.
"Pada kumpul gitu?" Alrescha menyahut pelan.
"Iya, Bang."
"Kita pakai masker nanti."
"Iya, Bang. Nanti Pak Dian masuk mobil dulu. Abang sama Mbak Bintang duduk di tengah, saya yang di depan."
Alrescha mengangguk, menyetujui saran dari Pak Agung. Ia menoleh ke arah dapur kala suara Bintang berseru keras memanggil Ibra. Membuat Lintang menghela napas panjang, dan mengembuskannya dengan perlahan.
"Adek!! Ini mana power bank-nya?" gerutu Bintang sambil menyodorkan kabel charger pendek berukuran 30 senti meter.
Ibra keluar dari kamar sembari merapikan ikatan dasi seragam sekolah. "Sabar, Kakak."
"Kenapa nggak bilang kalau kamu mau pakai power bank, Kakak?! Ini baru beli tahu!"
"Aku udah bilang sama Mama. Ya, kan, Ma?" Ibra membalas santai.
"Emang Mama yang punya power bank?!"
"Ya, kan, Kakak nggak ada. Lagian kalau power bank cuma disimpan doang, jadi rusak nanti."
"Ganti!"
Lintang bergegas melerai, "Sudah. Nggak malu sama Bang Alres dan teman-temannya?"
Tubuh Bintang mematung. Perlahan emosinya mereda sesaat. Tersadar jika Alrescha berada di rumahnya saat ini. Kepala Bintang menoleh, lantas tersenyum malu pada Alrescha yang memandangnya dalam diam sambil menahan senyum. Kemudian menatap tajam Ibra yang sedang tersenyum manis tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Beliin yang baru!" tegas Bintang lagi.
"Nanti Mama belikan yang baru," sahut Lintang mencoba menenangkan Bintang.
"Adek yang pakai, jadi Adek harus beli sendiri tanpa uang dari Mama." Bintang menekankan setiap ucapannya pada sang adik.
"Oke. Tanpa uang dari Mama, ya?" ujar Ibra yang langsung membuat Bintang mengganggukkan kepala. "Abang, e-money yang kemarin buat aku, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alrescha
RomanceDear my Pres BEM, Kita adalah sepasang orang asing yang Semesta satukan dalam satu rasa. Rasa rindu yang terbelenggu oleh cinta semu. Meski Semesta telah membuat kita menjadi satu, namun rasa rindu itu masih saja menggebu. Aku tak akan meminta balas...