29. Masih Optimis

192 45 23
                                    

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

"LO TUH ANJING, AYARA!"

"ANJANI!" sentak Ayu sambil mencengkram lengan Anjani yang dengan tajam menunjuk kening Ayara. "Daripada lo menghujat Ayara dengan kata-kata bodoh lo itu, mending lo renungi dan temui Keenan. Lo hujat Keenan juga, karena bukan cuma Ayara yang salah di sini."

"Lo belain dia, Yu?" tanya Anjani tidak percaya, ia menarik paksa lengannya dari cengkraman Ayu. "Lo ngebelain orang yang udah jelas kepergok berduaan sama cowok yang adalah milik sahabatnya sendiri. Lo yakin?"

"Mungkin selama ini gue diam, ya." Ayu mendorong dada Anjani. "Bukan karena gue ada di pihak lo, bukan gue mengiakan tuduhan bahwa Ayara sama Keenan ada hubungan. Tapi gue menunggu waktu buat Ayara jujur sama kita semua. Ayara harus terbuka sama kita, gue mau ngajarin dia supaya gak terus sembunyi dari kita."

Anjani melontarkan tatapan penuh kebencian ke arah Ayara yang saat ini hanya berdiri, dipermalukan oleh temannya sendiri karena disebut sebagai selingkuhan Keenan. Sudah, orang lain yang semula tak tahu akhirnya tahu juga.

"Lagipula ini di sekolah, jangan bawa masalah pribadi ke sini," kata Ayu. "Balik ke bangku lo, gih."

"Najis lo, Ra!" hardik Anjani masih mendendam. "Gue benci sama lo, anjing lo."

Ayara meraih tangan Ayu, membuat cewek itu kontan menoleh.

"Kita bicarakan ini nanti," ucap Ayu.

"Terima kasih, Yu," ungkap Ayara. "Terima kasih karena lo udah percaya sama gue."

Ayu tersenyum sedetik, lalu ia mengangguk sambil menepuk salah satu bahu Ayara sebelum pada akhirnya menaruh tasnya ke bangku di samping Ayara.

"Gue duduk sama lo, di sebelah lo," kata Ayu.

"Thanks."

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

Ayara berdiri di dekat jendela kamarnya, ia menikmati angin malam yang berhembus. Pemandangan malam ini benar-benar menarik, bulan sedang bercahaya, bintang-bintang juga sepertinya sedang menampakkan dirinya di langit malam ini.

"Jangan khawatir. Gak akan ada yang pergi, kata Dokter juga ini masih bisa diatasi, kok."

Ayara membalikan tubuhnya, ia jadi membelakangi jendela hingga menghadap ke arah teman-teman yang sedang duduk di ranjang empuknya itu. Ayu, Adelia, Aruna, Anjani, dan Alin saat ini berada di rumahnya. Berkat bujukan seorang Ayu, mereka mau menurut dan akhirnya ke rumah Ayara untuk mendengar penjelasan dari Ayara.

"Jangan ngeliat gue seolah gue orang yang paling menderita. Gue gak suka."

Anjani menundukan kepalanya, tangannya meremas sprei seiring dengan air mata yang meluruh begitu saja. Adelia menggelengkan kepalanya, sepasang matanya memanas hingga tanpa sadar air matanya ikut menetes. Aruna tersenyum paksa, dan air matanya menjadi jawaban bahwa senyumannya itu sangat palsu. Ayu sendiri sedang tak ingin menatap Ayara, kalau Alin masih memegang secarik kertas berisi pernyataan mengenai kondisi Ayara.

"Hari itu kebetulan Keenan yang ngebawa gue ke rumah sakit, Jani. Kebetulan juga kami berdua kerja di resto yang sama."

"Tadinya sih gue mau bilang ke kalian, tapi gue gak berani. Soalnya kalian juga lagi punya masalah, lagi sibuk sama urusan kalian."

"Seriusan, deh. Ini baru stadium tiga, besoknya pasti bakalan lebih baik lagi. Gue dirawat dengan baik sama Dokter, kok."

"Oh, kabar baiknya gue sama Iris udah baikan. Lebih tepatnya karena dia ternyata anak sambung Mama gue dari pernikahan keduanya. Selama ini dia ganggu gue karena dia pengin bilang soal Mama, tapi katanya gak semudah itu."

Alin beranjak dari duduknya, ia menjadi orang pertama yang menghampiri Ayara. Dia meraih wajah Ayara, meraba pipinya untuk memastikan seberapa jauh Ayara melangkah sendirian.

"Lo curang, Ra." Alin menepuk-nepuk pelan pipi Ayara. "Lo bisa menerima semua curahan hati teman-teman, tapi lo gak pernah mencurahkan isi hati lo. Curang."

Ayara mengulum senyuman. "Gak curang gak bakalan menang, Lin."

"Masalahnya lo ngelukain diri lo sendiri, bego!" kata Alin sambil menggeplak pipinya. "Sampe kurus begini, gue kira lo lagi ngejalanin diet atau apa, ternyata sakit. Tolol."

"Ih, Alin belajar dari siapa ngomong kasar?" tanya Ayara terkejut dan terheran-heran.

"Ra, lo kenapa selalu begini, sih?" tanya Aruna gemetar. "Kenapa lo harus bertingkah seperti lo baik-baik aja, hah?"

"Tahu lo!" sahut Adelia geram.

"Ya karena gue gapapa," kata Ayara. "Buktinya gue masih berdiri, gue masih bisa bernapas. Lagipula gue bakalan sembuh, kok."

"Janji, ya?" Alin mengulurkan jari kelingkingnya.

Ayara menautkannya. "Janji."

Ayu menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman, dia tahu jika Ayara sudah berjanji maka dia akan menepatinya.

"Aya maaf," sesal Anjani.

"Gak ah, gue ngambek," kata Ayara sambil menggembungkan pipinya bercanda.

"Aya~" rengek Anjani.

"Bodo amat gak dengar~" goda Ayara, kini ia menutupi telinganya.

Kencang sekali Anjani menjerit histeris, ia menangis seperti bayi yang dicubit oleh orang asing. Melihat tangisnya itu membuat mereka tak tahan untuk menertawakannya, apalagi saat Anjani tak sengaja mengeluarkan cairan kental berwarna putih dari hidungnya.

Malam itu mereka berdamai, dengan Ayara yang berjanji akan sembuh seperti semula. Ayara selalu menepati janjinya, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kelimanya datang pada Ayara sekarang, memeluk Ayara berharap semua akan kembali seperti semula.

"Ra, jendela lo kenapa gak ditutup? Ini udah malam, nanti lo kedinginan, bego."

Kedatangan Iris dengan omelannya mengalihkan atensi semua orang, keenam cewek yang sedang berpelukan itu menatap Iris.

"Jauh-jauh dari adek gua," kata Iris.

Anjani memeluk Ayara semakin erat. "Bodo, gue mau peluk Ayara sampe puas!"

"Sama!" pekik Aruna sambil menguyel-uyel pipinya di bahu Ayara.

Iris merotasikan bola matanya malas. "Lepasin. Gue traktir kalian makan, gimana?"

"Diterima!" pekik mereka berlima kompak, Ayara yang melihatnya jelas kaget, apalagi Iris yang harus siap mengeluarkan uangnya.

Iris mendengkus, ia mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Ayu. Mata Adelia berbinar melihat kartu itu.

"Keren," kagum Adelia. "Boleh dibeliin apa aja, Kak?"

"Ya," jawab Iris. "Tapi jangan deket-deket sama adek gue, biarin dia istirahat."

Ayara memberenggut. "Lo gak pernah traktir gue, tuh."

"Oh, sekalian beliin Aya makanan sehat, supaya dia cepet sembuh," pesan Iris.

"Kita perginya berdua aja, ya?" kata Adelia sambil merangkul Ayu. "Kalian pesen aja, tinggal bikin daftar makanan apa aja."

"Kalo mau minuman, bisa?" tanya Anjani dongkol.

"Gue boba satu, ya?" sahut Ayara bersemangat. "Udah lama gue gak minum boba soalnya."

"Gak," tolak Iris. "Udah malem, jangan makan yang dingin-dingin."

Ayara memberenggut. "Perasaan lo sama Kak Arka sama aja, selalu ngelarang minum minuman yang dingin di malam hari, huh!"

"Move on, woi!!!" pekik Anjani.

"Eh, Kak Arka tiba-tiba pamitan sama gue tiga hari yang lalu," ujar Ayara baru ingat. "Dia ke mana, ya?"

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

Ayara dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang