14. Sebuah Perjanjian

200 42 12
                                    

Terima kasih atas vote dan komentarnya ...

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

Ayara tidak pernah merasa sesenang ini, dia tidak akan pernah lupa bagaimana Arga tersenyum begitu manis saat ia pamit pulang. Di mata Ayara, Arga itu tampan dan memesona pastinya. Tanpa tersenyum saja cowok itu sudah memikat, apalagi sambil tersenyum.

Ayara tersentak kaget saat melihat kelima temannya duduk dengan mata terpejam dan saling memberi sandaran di teras rumahnya. Mereka ketiduran sepertinya. Ia melirik jam tangan yang melingkar di lengan sebelah kiri, membekap mulutnya sendiri karena pulang terlalu larut. Dia lupa bahwa malam ini ada janji untuk pesta piyama di rumahnya.

Ayu menatap Ayara dari tempatnya dengan sinis. "Ke mana aja lo? Janjinya jam sepuluh datangnya jam dua belas."

"Dua jam kita nunggu, lho," sahut Adelia.

"Nah, malah cengengesan," kata Aruna. "Laper gue, nih!"

"Lo habis dari mana aja, sih?" tanya Alin.

Ayara cengar-cengir tidak berdosa, dia lantas mencari tempat duduk kosong untuk membujuk teman-temannya. Ayu mendorong lengan Ayara kesal, sebab dia membuat mereka ketiduran di sini.

"Buka buruan pintunya!" desak Adelia.

"Gue juga laper banget, nih!" sahut Aruna setengah merengek. "Gue gak bisa tidur kalo perutnya gak diisi."

"Bacot, yang duluan tidur elo tadi," kata Adelia.

"I-itukan tadi udah diisi kebab, tapi sekarang laper lagi," ucap Aruna. "Buruan, Ra~"

"Sebentar, ya~" kata Ayara. "Teman-teman gue baik banget, deh."

"Idih!"

Ayara kembali beranjak berdiri, ia segera membuka pintu rumahnya dan tanpa bicara Ayu, Adelia, Aruna, dan Alin nyelonong masuk begitu saja. Namanya juga teman, iyakan?

Pintu utama itu tertutup rapat, Ayara bahkan sudah menguncinya. Sejurus kemudian kelima orang gadis itu berhenti bak patung diberi nyawa.

"ANJANI!"

Ayara membuka pintu lagi, benar saja bahwa Anjani masih tidur dengan posisi menempel pada pilar. Disaat mereka berlima panik takut Anjani hilang, cewek itu malah mendengkur sambil tak lupa mengupil.

"Jani!" panggil Adelia.

Anjani mengerjap. "Hm? Udah di bulan, kah?"

Adelia menggeplak pipi Anjani beberapa kali, membuat cewek itu kontan beranjak berdiri dan sempoyongan hampir jatuh, beruntung Adelia buru-buru bangun menahannya.

"Wah, di bulan udah ada rumah, ya," ucap Anjani terkagum. "Hebat."

"Mata lo bulan!" sembur Aruna. "Dahlah, gue mau makan. Ayara, plis harus ada makanan di kulkas elo."

"Ini satu makanan terus, heran," kata Ayu sambil geleng-geleng kepala.

"Gimana tadi sama Bagas, Yu?" tanya Alin kepo. "Ganteng Bagasnya, gak?"

Ayu tersenyum malu-malu, lalu perbincangannya dengan Alin berlanjut hingga mereka masuk ke dalam rumah Ayara. Kini yang tersisa hanya Ayara, seseorang yang memutuskan untuk memandangi kelima punggung itu menjauh dari hadapannya.

"Suatu hari mereka akan seperti itu pas gue pergi," gumam Ayara. "Gue harap mereka perginya tanpa air mata. Kayak Aruna yang pergi demi makanan, Adelia yang mengomeli Anjani, sama Ayu yang ngobrol bareng Alin."

Ayara menggelengkan kepalanya menyadarkan diri.

"Gaklah! Gue sembuhlah, nanti perginya karena mau ngejar cita-cita, bukan kematian." Ayara mengusap wajahnya. "Ya, demi cita-cita."

Ayara bisa setegar itu karena dia masih mempunyai tujuan dalam hidupnya. Dia ingin sekali bertemu dengan Sang mama yang meninggalkannya ketika ia masih berusia enam tahun kala itu. Mirisnya, saat ia berusia tujuh tahun, Sang papa malah meninggal karena penyakit kanker darah yang diderita. Ayara hidup dengan uang pensiunan Sang papa, dan uang yang ditransfer dari mamanya.

"Demi Mama, lo pasti sembuh!"

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

Dikarenakan hari ini tanggal merah, jadi tidak ada yang repot mandi pagi. Enam cewek yang notabenya sudah sahabatan lama, tak pernah merasa canggung meski belum mandi sekali pun. Mereka sudah bangun dari subuh, karena mereka harus menjalani kewajiban sebagai umat beragama Islam.

"Kalo salah satu di antara kita mati duluan, kira-kira bakalan siapa, ya?" tanya Ayara bernada canda.

Aruna menelan kripik singkong itu dengan susah payah. "Gue kayaknya."

"Setuju!" seru Adelia yang kemudian bertos ria dengan Aruna.

"Del, kok lo begitu ke gue, sih?" tanya Aruna bersedih dan terluka.

Adelia kelabakan. "E-eh? B-bukan begitu maksud gue, elo sih!"

"Kok, gue?" Alin yang tak ikut-ikutan malah terseret oleh Adelia yang mendorong lengannya. "Lagipula Aruna memang pantes begitu, orang makan aja gak diatur, mana bisa tubuhnya sehat."

"Gue mending cepetan mati tapi makan enak daripada hidup panjang tapi makan makanan yang pahit," tutur Aruna. "Jadi, doakan gue semoga gue panjang umur."

Ayu menutup majalahnya. "Kenapa tiba-tiba nanyain kematian, Ra?"

"Biasalah," kata Ayara. "Papa masuk ke mimpi gue semalam, katanya kangen."

"Papa lo itukan udah meninggal, Ra," kata Anjani.

"Iya makanya ketemu di mimpi, dodol!" kata Ayara gemas sendiri. "Anjani~ Anjani~ heran gue sama lo."

"Nah, yang pemikirannya kayak Anjani bakalan panjang umur, nih!" sahut Adelia. "Kenapa? Ya karena pikirannya bebas dia, jadi ya bebas aja mental sama fisiknya."

"Siapa bilang gue bebas?" tanya Anjani. "Beban di otak gue, nih! Gue gak mau nikah muda, gue takut nanti punya anak duluan tapi kalian masih seru-seruan main."

Ayara terbahak. "Padahal nikah muda enak."

"Kayak gak ngeliat pengalaman orang lain aja, lu!" sungut Ayu. "Menikah itu bukan hal yang mudah, perlu kedewasaan yang benar-benar dewasa."

"Contohnya kayak Ayu sama Bagas, iyakan?" goda Ayara yang disambut dengan tawa dari semua orang, kecuali Ayu yang kesal sambil menghempas bantal ke muka Ayara.

"Enak aja, gue belum siap!"

"Bisa se-random ini obrolan kita, ya?" Alin berkata tak menyangka. "Jangan pernah berubah, walau pun obrolan kita kadang gak penting, gue rasa itu perlu untuk mempertahankan keutuhan kita."

Anjani menghembuskan napas panjang. "Seru, sih. Disaat orang-orang kesusahan nyari yang cocok, kita justru ditakdirkan buat barengan terus."

"Doain aja, ya," ujar Ayara. "Kita barengan sampe nenek-nenek, terus kita bikin satu rumah bareng buat ngabisin waktu tua kita barengan."

"Nyemil kripik singkong ini pake gigi palsu," ujar Aruna membayangkan.

"Makan sup ayam pas rambut udah putih semua," sahut Adelia.

"Minum teh anget bareng sampe gigi palsunya copot," timpal Ayara.

Tawa menyambut seketika, entah di mana letak lelucon yang membuat mereka tertawa sampai selepas itu. Akan tetapi, jika dengan orang yang sejalan, maka lelucon sekecil apapun akan terasa menggelitik.

"Janji ya, kita bakalan sama-sama sampe tua," kata Ayara. "Gue mau nyari rumah impian supaya kita barengan gitu."

"Janji!" seru Adelia memulai, ia mengulurkan sebelah tangannya yang menunjukan bagian punggungnya.

Ayu menimpali punggung tangan Adelia, disusul oleh Ayara, Aruna, Anjani, dan Alin.

"Janji!!!"

Mereka berjanji dengan posisi duduk melingkar di ranjang lebar itu, berpelukan satu sama lain dengan wajah polos serta piyama bekas tidur semalam.

- 𝘼𝙔𝘼𝙍𝘼 𝘿𝘼𝙉 𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼𝙉𝙔𝘼 -

Ayara dan RahasianyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang